Senin, 27 Desember 2021

Berpolitik dalam Keseharian Perempuan


 Yuni Satia Rahayu

Berbicara tentang politik yang kita bayangkan adalah sesuatu yang berat dan jauh dari keseharian kita. Terbayangkan bahwa kita akan membahas tentang partai politik, tentang kejamnya politik, tidak ada kawan abadi dalam politik, kawan abadi dalam politik adalah kepentingan dan lain-lain. Bayangan mengerikan tentang politik membuat kita enggan bersentuhan dengan yang namanya politik. 

Di kalangan feminis sangat populer istilah the personal is political yang "pribadi itu adalah politis". Istilah ini yang kemudian membuka mata bagi kaum perempuan di berbagai penjuru dunia menyadari bahwa tubuh, pikiran dan tindakan mereka memiliki nilai politis. Perempuan seringkali tidak memilliki hak untuk mengatur tubuh, pikiran dan tindakan mereka sendiri, melainkan banyak ditentukan oleh pihak-pihak maskulin yang melihat perempuan sebagai properti milik negara. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang setara posisinya dengan laki-laki tentu hal ini sangat membingungkan bagi perempuan. Apalagi bila kita mengingat satu ajaran agama yang menyatakan perempuan sebagai bagian dari tulang rusuk laki-laki. Hal ini semakin meyakinkan banyak pihak termasuk perempuan didalamnya bahwa perempuan memang hanya menjadi manusia yang tidak utuh milik dirinya sendiri.

Dalam sejarah Indonesia, kaum perempuan pernah melewati satu masa dimana mereka tidak menjadi milik dirinya sendiri. Perempuan menjadi bagian properti negara yang bahkan mereka mereka tidak bisa mengontrol tubuh mereka sendiri. Perempuan dipaksa menggunakan alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah penduduk di Indonesia. Sumber kelahiran generasi penerus berasal dari perempuan sehingga perempuanlah yang kemudian harus menggunakan alat kontrasepsi agar anak-anak tidak bertambah jumlahnya. 

Pada masa Orde Baru, peran politik perempuan bahkan diatur oleh negara. Mereka harus masuk organisasi perempuan yang sudah diatur oleh negara. Peran politiknya disesuaikan dengan pekerjaan suaminya. Masuk Dharma Wanita untuk para istri yang kerja suaminya sebagai PNS. Dharma Pertiwi untuk mereka yang suaminya bekerja di ABRI. Diluar itu mereka masuk organisasi PKK. Keaktifan perempuan di organisasi istri sangat mempengaruhi prestasi suami. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan melanggar Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966. Dan Indonesia masih menggunakannya sampai sebelum masa reformasi terjadi di Indonesia.

Berdasarkan Kovenan tersebut bahwa setiap warga negara dijamin haknya untuk menjalankan hak politiknya, bahkan negara tidak dapat memaksa atau menghentikan haknya. Pada tahun 1960an dan 1970an muncul pemikiran revolusioner dari feminis the personal is political.  Hal inilah yang mendorong aktivis perempuan menyuarakan bahwa hal yang pribadi bersifat politis. Sehingga masalah tubuh perempuan yang dipaksa harus menggunakan kontrasepsi sangat melanggar hak pribadi perempuan. 

Yang pribadi itu politis sebenarnya bukan hal yang jauh dari diri kita dalam keseharian. Dalam melaksakan pekerjaan domestik/rumah tangga kita dengan suami dan anak-anak kita menegosiasikan dengan mereka itulah yang disebut dengan the personal is political. Pembagian kerja di ranah domestik dengan suami dan anak-anak iu adalah ranah politik yang dinegosiasikan setiap saat dengan mereka. Itulah politis bagi feminis. Kalau selama ini pekerjaan domestik sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri dan ibu kedepannya ranah domestik adalah wilayah negosiasi dalam keluarga. 

Seorang anak yang ingin meminta uang ke orang tuanya, tentuanya dia melihat situasi apakah cukup kondusif untuk meminta uang ke orang tuanya. Bila dilihatnya orang tua dalam kondisi gembira maka anak akan meminta uang ke orang tuanya. Ranah domestik adalah ruang politik untuk keluarga bisa saling negosiasi dan mendebat mengenai suatu keputusan yang dianggap tidak adil bagi salah satu pihak di keluarga. Itulah ranah politik bagi kaum perempuan. Karena itu, berbicara politik itu riil terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Bukan sesuatu yang jauh dari kita. Berdasarkan pemahaman yang pribadi itu politis akan semakin membuat keluarga kita semakin memahami politik yang lebih ramah pada diri manusia tidak membedakan laki-laki dan perempuan, tua dan muda semuanya memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi pada semua pihak untuk dicapai kesepakatan yang lebih adil bagi kita. 

Yogyakarta, 28 Desember 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 25 Desember 2021

Hari Ibu yang Bukan Mother's Day

 Hari Ibu di Indonesia diperingati bukan sebagai Mother''s Day tetapi diperingati sebagai gerakan perempuan yang membuat sejarahnya dalam upayanya melawan penjajah baik Belanda dan Jepang. Para aktivis perempuan tergerak saat mereka melihat dilaksanakannya Sumpah Pemuda yang dapat membangun rasa nasionalisme diantara aktivis gerakan pada 28 Oktober 1928. Para aktivis perempuan ini juga mendapat undangan untuk hadir di acara pertemuan perempuan di Honolulu, Hawai. Para aktivis menjadi bersemangat dengan keadaan tersebut, sehingga dirancanglah kegiatan mengumpulkan kaum perempuan di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta dan terselenggaralah Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928.

Pada masa sebelum kemerdakaan dan masa Soekarno menjadi Presiden Indonesia, oganisasi perempuan tumbuh dan berkembang luas. Dukungan partai politik terhadap gerakan perempuan menguat sehingga hampir setiap partai politik memiliki sayap perempuannya. Bahkan perempuan Indonesia saat itu sudah terlibat aktif dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan pertama kali di Indonesia tahun 1955. Mereka sudah memperoleh hak memilih dan dipilih. hal ini berbeda dengan negara-negara di Amerika dan Eropa yang mesti berjuang puluhan tahun. 

Gerakan perempuan yang ada pada masa Orde Lama sangat aktif dalam merespon kondisi perempuan yang ada saat itu. Meskipun mereka memiliki aliran politik yang berbeda-beda serta melakukan gerakannya juga berbeda-beda tetapi semangat untuk memperbaiki kondisi perempuan juga sangat tinggi. Bahkan diantara mereka telah dibangun solidaritas diantara anggota organisasi. Untuk menengok anggota organisasi yang sakit mereka rela harus berjalan berhari-hari karena masih terbatasnya transportasi yang ada. Bahkan ketua organisasi perempuan yang ingin mengunjungi anggotanya di Kalimantan, mereka harus naik kapal yang memakan perjalanan untuk sampai di tempat sampai 7 hari. Gerakan perempuan meredup saat memasuki masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, berbagai organisasi perempuan disatukan dalam Dharma Wanita, PKK dan Dharma Pertiwi beserta Kowani. Pada masa inilah perempuan hanya beraktivitas sebagai ibu di ranah domestik. Tanggung jawab dan kewajibannya hanya di ranah domestik yang merawat keluarga dan bergerak diranah sosial. Julia Suryakusuma  menyebut posisi perempuan sebagai Ibuisme Negara, dimana posisi perempuan berdasar posisi penting suaminya di ranah publik. Sebaliknya, karier suami ditentukan oleh sejauh mana istrinya aktif dan turut serta dalam Dharma Wanita. Selama 32 tahun, konsep Ibuisme menarik semua perempuan hanya bisa berada di ranah domestik. Perempuan yang bisa aktif di ranah publik apabila masuk di partai Golkar. 

Pengaburan sejarah gerakan perempuan selama 32 tahun ini sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perempuan. Bahwa perempuan memiliki kewajiban merawat keluarga, serta bila diperlukan akan terjun di ranah publlik. Sehingga penghasilan perempuan hanya sebagai tambahan dari pendapatan suami. Ketidakjelasan inilah yang megaburkan sejarah Kongres Perempuan Indonesia yang dilakukan untuk pembebasan tanah air, kesetaraan dan keadilan perempuan. Maka wajar jika masyarakat yang tidak paham tentang sejarah gerakan perempuan, menganggap Hari Ibu sebagai Mother's Day. Karena memang ada sejarah yang mengaburkan peranan perempuan dalam ranah politik.

25 Desember 2021

Selasa, 10 Agustus 2021

Perempuan dan Pandemi Covid-19 Woman and Covid-19 Pandemic


Catatan Jurnal Perempuan Jurnal Perempuan, Vol. 25 No. 4, November 20

Ketimpangan gender di dalam masyarakat dinilai turut memperburuk dampak Pandemi Covid-19 terhadap perempuan. Rapid Gender Assessment (RGA) oleh UN Women di Eropa dan Sentral Asia menemukan lebih dari 15 persen perempuan kehilangan pekerjaan, 41 persen perempuan mengalami pengurangan upah, dan menemukan terjadinya peningkatan jam dan beban kerja perempuan di dalam keluarga, selama pandemi Covid-19. Tak hanya dampak ekonomi dan sosial, pandemi Covid-19 juga menyebabkan meningkatnya kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Shadow pandemic adalah konsep yang menjelaskan fenomena meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi Covid-19.

Keluarga sebagai ‘gendered institution’ merupakan salah satu fokus penting dalam studi-studi feminisme. Feminisme melihat keluarga di dalam masyarakat yang patriarkis sebagai wujud dari relasi gender yang timpang, di mana peran gender perempuan dikonstruksi dan ditempatkan secara subordinat. Dalam struktur masyarakat yang patriarkis, perempuan dilekatkan dengan peran produksi afektif-seksual (sex-affective production), yang bertugas memberikan pengasuhan emosional bagi anak dan laki-laki, serta kepuasan seksual bagi laki-laki. Sementara itu, kerja-kerja di dalam keluarga, seperti kerja pengasuhan (carework) atau kerja rumah tangga (housework), cenderung dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah, dan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. 

Sejak bulan Maret 2020, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan status pandemi Covid-19. Salah satu kebijakan untuk mencegah meluasnya pandemi adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB merupakan kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing) yang mewajibkan pembatasan kegiatan di ruang publik seperti di kantor, pabrik, tempat hiburan, tempat ibadah, restoran, sekolah, pasar, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Pembatasan jarak sosial ini telah mengakibatkan kontraksi terhadap kegiatan perekonomian di Indonesia. Maka pandemi Covid-19 kemudian dibayangi oleh ancaman PHK terhadap pekerja, serta hilangnya lapangan pekerjaan di berbagai jenis wira usaha dan/ atau sektor informal. Dampak ekonomi dari pandemi tidak hanya terjadi pada ekonomi makro tetapi juga terhadap perekonomian rumah tangga.

Analisis atas relasi gender yang timpang di dalam keluarga penting untuk memahami dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan. Penerapan pembatasan jarak sosial menyebabkan sebagian besar kegiatan di ruang publik harus dilakukan dari rumah. Sehingga di masa pandemi kita melihat munculnya berbagai bentuk kegiatan seperti: bekerja dari rumah (work from home), bersekolah jarak jauh, beribadah jarak jauh, termasuk berbelanja daring (online shopping). Terpusatnya berbagai kegiatan ke dalam rumah menyebabkan tanggung jawab perempuan di dalam rumah tangga semakin besar. Di masa pandemi, misalnya, seorang ibu yang bekerja (working mother) harus dapat mengatur beban dan waktu kerja antara bekerja dari rumah dengan mendampingi anak bersekolah daring. Di masa pandemi, seorang ibu rumah tangga juga harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan dan biaya listrik yang naik, ketika pendapatan keluarga menurun.   

Feminisme interseksional (intersectional feminism) merupakan sebuah konsep feminisme yang penting untuk melihat perbedaan situasi yang dihadapi oleh perempuan dan kelompok marginal di masa pandemi Covid-19. Secara umum beban rumah tangga yang membesar di masa pandemi tentu berdampak terhadap perempuan. Namun perempuan bukanlah entitas yang homogen. Di masa pandemi Covid-19, pekerja rumah tangga (PRT) - yang umumnya dilakukan oleh perempuan, merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami eksploitasi. Meski beban kerja PRT di masa pandemi semakin besar, namun pada umumnya PRT tidak mendapatkan tambahan upah. Sebaliknya, selama pandemi PRT justru menjadi rentan terhadap PHK dan stigma sebagai penyebar virus Corona. PRT migran menghadapi kerentanan yang relatif sama dengan PRT di dalam negeri, selain juga rentan untuk dipulangkan kembali ke dalam negeri. 

Feminisme interseksional juga dapat mengungkapkan marginalisasi berlapis yang dialami oleh kelompok marginal, seperti LGBT atau transgender. Karena identitas gendernya, kaum transgender memiliki akses terbatas untuk memperoleh pekerjaan di berbagai bidang. Selama penerapan PSBB, jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh kaum transgender, seperti salon kecantikan, pengamen, restoran, merupakan jenis pekerjaan yang banyak ditutup atau dibatasi. Di beberapa kasus, kaum transgender juga menghadapi hambatan akses terhadap bantuan sosial karena tidak memiliki kartu penduduk. Sementara itu, akibat identitas gendernya, keluarga yang pada umumnya menjadi tumpuan perlindungan di masa pandemi, justru menjadi tempat yang rentan terjadi kekerasan terhadap kelompok transgender. Relasi sosial, ekonomi, dan politik yang timpang, membawa dampak pandemi yang lebih buruk terhadap kelompok yang mengalami ketimpangan berlapis. Kerentanan berlapis inilah yang dialami misalnya oleh kelompok transgender, perempuan dengan disabilitas, pekerja rumah tangga (PRT), perempuan nelayan, pekerja migran, dan lainnya, di masa pandemi Covid-19.

Meski berada dalam posisi subordinat, perempuan tetap memiliki agensi untuk bertahan di masa pandemi, bahkan untuk memberikan dukungan bagi komunitasnya. Perempuan Sumba, misalnya, mengembangkan inisiatif edukasi, pemberian informasi, dan komunikasi mengenai Covid-19, bagi komunitasnya. Agensi perempuan lainnya juga dapat dilihat dari kerelawanan yang dilakukan oleh Solidaritas Pangan Jogja (SPJ). SPJ berhasil mentransformasi pandangan yang bias terhadap kerja perawatan, seperti memasak di dapur, menjadi gerakan solidaritas dapur umum bagi komunitas marginal di masa pandemi Covid-19. 

Dalam ruang sosial yang terbatas di masa pandemi Covid-19, perempuan mampu mendorong aksi kolektif, tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga menciptakan ruang bagi kepentingan publik. Pengalaman organisasi perempuan seperti Rahima dan ‘Aisyiyah, memperlihatkan gerak kolektif perempuan untuk mendampingi komunitas melalui gerakan solidaritas bantuan dan pendidikan. Sementara itu, KAPAL Perempuan berusaha mengembangkan inisiatif solidaritas sambil tetap memerhatikan kekerasan berbasis gender yang tetap terjadi di masa pandemi, seperti perkawinan anak. Selain mengatasi tekanan ‘gendered space’ yang diakibatkan oleh pandemi, kaum perempuan juga mempertahankan politik kewargaan di ruang publik. Maka, meskipun ruang publik di masa pandemi Covid-19 semakin menyempit, namun para aktivis perempuan tetap turut mengawal politik kewargaan, seperti mendorong pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, mendorong pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga, serta terlibat dalam gerakan untuk mengkritik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Oleh sebab itu, penempatan perempuan secara substantif dalam penanganan pandemi Covid-19 diperlukan tidak hanya karena perempuan merupakan salah satu kelompok yang menghadapi kerentanan besar, tetapi juga karena perempuan merupakan tulang punggung dari proses pencegahan dan pemulihan pandemi. Pengalaman agensi kaum perempuan mengajarkan bahwa pandemi Covid-19 tidak dapat diatasi dengan mendomestikasi persoalan-persoalan yang muncul. Di sini kita kembali diingatkan pada satu argumen yang berkembang di masa feminisme gelombang kedua, bahwa pengalaman-pengalaman personal perempuan tidak dapat dilepaskan dari struktur politik yang bekerja di dalam masyarakat. Bahwa “the personal is political”. (Atnike Nova Sigiro)