Rabu, 24 Desember 2008

Sosialisasi Pemilu 2009 Minim di Daerah

Kinerja KPU
Sosialisasi Pemilu 2009 Minim di Daerah


Rabu, 24 Desember 2008 | 03:03 WIB

Jakarta, Kompas - Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia mengeluhkan kurangnya sosialisasi Pemilu 2009 di daerah-daerah. Padahal, banyak hal baru yang harus segera diketahui masyarakat di daerah terkait dengan penyelenggaraan pemilu, seperti memberi tanda contreng untuk memilih wakil rakyat.

Demikian terungkap dalam audiensi Adkasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Selasa (23/12).

Anggota DPRD Purworejo, Sutarno, yang memimpin rombongan Adkasi mengatakan, sosialisasi pemilu hanya ada di tingkat pusat, sedangkan di kabupaten/kota belum terlihat ada sosialisasi.

”Misalnya tanda contreng, banyak warga di daerah sampai di tingkat bawah belum mengetahui bagaimana tanda contreng itu. Sosialisasi belum terasa di daerah, terutama daerah-daerah pemekaran dan daerah dengan topografi yang sulit mengakses informasi,” katanya.

”Selain itu, KPU juga jangan mengeluarkan aturan yang menimbulkan banyak penafsiran oleh penyelenggara pemilu di tingkat daerah,” ujar Sutarno.

Sosialisasi spanduk

Menanggapi hal itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengungkapkan, meski dengan dana minim, KPU sudah berusaha melakukan sosialisasi, termasuk ke berbagai daerah, dari tingkat kabupaten sampai desa.

”Sosialisasi memang lemah, tetapi bukan berarti tidak ada. Ada keinginan dari kami, pada bulan Januari mendatang, intensitas sosialisasi pemilu akan ditingkatkan,” kata Hafiz.

Menurut Hafiz, KPU dan KPU daerah sudah memasang berbagai macam spanduk, tetapi kadang-kadang masyarakat menganggap itu bukan sosialisasi. KPU menggunakan tiga cara dalam sosialisasi, yaitu memasang iklan di media massa, komunikasi tatap muka, dan mobilisasi sosial.

Anggota KPU, Endang Sulastri, menambahkan, KPU telah berupaya melakukan sosialisasi ke daerah dengan berbagai macam kegiatan. Salah satu kegiatan terakhir yang dilakukan oleh KPU adalah menggelar pertunjukan wayang kulit di Kota Surakarta. (SIE)

Selasa, 16 Desember 2008

Mega Ajak Mas Sultan Bernostalgia

Mega Ajak Mas Sultan Bernostalgia


KOMPAS.COM/INGGRIED DWIWEDHASWARY
Buku testimoni tentang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, berjudul "Mereka Bicara Mega" diluncurkan di Hotel SUltan, Jakarta, Jumat (12/12).

JAKARTA, JUMAT — Apa jadinya kalau dua orang capres bernostalgia? Bukan tentang kisah mereka berdua, tetapi bernostalgia tentang orang yang sama-sama dikenal dengan baik. Itulah yang terjadi pada peluncuran buku Mereka Bicara Mega, Jumat (12/12) di Jakarta.

Saat memberikan sambutan, Megawati Soekarno Putri mengajak Sri Sultan HB X yang hadir pada acara tersebut untuk mengingat ayahanda Raja Jogja itu, Sri Sultan HB IX. Mega, dalam ceritanya, mengaku cukup kenal baik dengan Sri Sultan HB IX. Kepada Sri Sultan HB X yang dipanggilnya Mas Sultan, ia mengajak flash back dengan kisahnya bersama ayah Gubernur DIY itu.

"Mas Sultan (Sultan HB X), saya punya pengalaman lo dengan Pak Sultan," kata Mega yang dilanjutkan, "Waktu itu saya mau maju. Saya pikir saya harus menghadap Pak Sultan. Minta dukungan. Kata Mbak Norma (kerabat Keraton Jogja), menghadapnya kayak menghadap raja. Ya sudah, saya ngomong. Pak Sultan, saya mau maju," kisah Mega.

"Kemudian Pak Sultan bilang, 'Terus, karepmu opo, Mega'. Ya saya bilang saja minta dukungan, maksudnya supaya bisa dapat suara di Jogja. Beliau bilang, 'Yo wis (ya sudah)'. Setelah itu saya bingung maksudnya apa. Ternyata, kata Mbak Norma, kalau sudah bilang begitu berarti pandito raja. Dan ternyata Mas Sultan, saya dapet suara lo di Jogja," kata Mega sambil melihat ke Sultan yang hanya tersenyum mendengar cerita Mega.

Mega pun mengingatkan, bahwa secara historis, kisah hidupnya banyak dibantu oleh Sri Sultan HB IX. Dulu, Jogja selalu menjadi kota tujuannya kala libur. Bahkan, saat ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, ia dan keluarganya ditampung oleh Sri Sultan HB IX.

Mega: Ternyata Saya Keren Juga Ya...

Mega: Ternyata Saya Keren Juga Ya...


Chung Sung-Jun/Getty Images
Megawati Soekarnoputri

JAKARTA, JUMAT — Puncak peluncuran buku Mereka Bicara Mega ditandai dengan pidato dari sang empunya buku, Mega, dalam sambutan santainya, berulang kali mengundang gelak tawa para tamu undangan peluncuran buku yang berlangsung di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (12/12) sore.

Kali ini, Mega tak banyak berbicara tentang dunia politik yang selama ini akrab dengannya. Ia berkisah tentang berbagai cuplikan kisah yang dialami dalam hidupnya. Kisah-kisah ringan yang menurutnya selama ini tak diketahui publik.

"Boleh juga ya, orang tahu siapa saya. Kayaknya kalau saya baca di media, kok saya itu ditempatkan di down grade. Seakan-akan saya tidak cerdas, naif, hanya ibu RT. Tapi sebenarnya itu kan bisa dipatahkan dengan kenyataan bahwa saya ini ketua umum partai yang paling lama di Indonesia," kata Mega sambil tertawa.

Ia lantas bercerita bahwa jalannya menuju kursi wapres dan presiden adalah jalan yang berliku. Putri Bung Karno itu pun merasa prihatin dengan anggapan bahwa perempuan tidak bisa memimpin. Entah bermaksud menyindir pemimpin laki-laki atau tidak, yang jelas Mega membuat ilustrasi yang cukup membuat ger-geran.

"Tahun 2004, saya berharap ibu-ibu bisa memilih saya. Ternyata tidak. Kalau saya ke daerah, ibu-ibu minta maaf karena salah pilih. Saya bilang, makanya bu, yang paling tahu bikin sambal kan kita-kita (perempuan). Bapak-bapak itu mana tahu harga-harga makanya seenaknya. Coba tanya harga cabe berapa? Pasti lihat kanan kiri tanya ke istrinya," ujar dia sambil tersenyum.

Tentang buku yang berisi testimoni dirinya, Mega tak menyangka bahwa apa yang dituliskan rekan-rekannya bernada positif semua. Dengan sedikit narsis ia berujar, "Isinya bagus-bagus semua." "Saya sampai berpikir, ternyata saya keren juga ya...," katanya kembali dengan tawa.

Dicari Caleg Rajin Kunjungi Konstituen


Dicari Caleg Rajin Kunjungi Konstituen

JAKARTA,KAMIS-Dalam realitas politik, ternyata banyak politisi yang duduk di kursi panas dewan tidak dikenal oleh para konstituennya hingga masa akhir jabatannya. Mereka hanya muncul pada masa kampanye, lantas "menghilang" setelah pemilihan anggota legislatif berlangsung, entah sudah terpilih ataupun tidak.

Wajar saja, jika para perempuan mengharapkan caleg yang berkomitmen penuh mengunjungi konstituennya setelah terpilih nanti. Penelitian Kalyanamitra mengenai kualitas perempuan politisi di legislatif yang dipublikasikan di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (4/12), menunjukkan bahwa 25 perempuan dari kalangan bawah yang menjadi responden menunjukkan bahwa mereka sama sekali belum pernah dikunjungi oleh anggota dewan pusat maupun daerah.

Menurut Direktur Eksekutif Kalyanamitra Rena Herdiyani, rakyat hanya diposisikan sebagai mesin suara pada saat pemilu. Hingga, sejumlah responden melihat para calon anggota legislatif hanya melontarkan janji-janji kosong pada saat kampanye.

"Tak ada satupun dari mereka yang pernah menerima hasil laporan atau pertanggungjawaban kerja anggota DPR ataupun DPRD misalnya mengenai apa yang saya kerjakan atau yang tidak saya kerjakan," tutur Rena.

Rena berharap calon anggota legislatif Indonesia belajar dari anggota legislatif di Filipina yang memiliki laporan pertanggungjawaban kepada konstituennya secara rutin setiap bulan melalui newsletter dan memberikan kesempatan merespons kepada konstituennya.

Dengan demikian, mereka akan mengetahui aspirasi konstituennya dari waktu ke waktu sesuai konteks perkembangan masa. "Harus ada cara mengomunikasikan hasil kinerja mereka langsung," tandas Rena.

Komunikasi yang tidak berjalan ideal antara wakil rakyat dan konstituennya, menurut penelitian Kalyanamitra, dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik. Karena, ada pihak yang seharusnya bertanggungjawab dan berkewajiban melayani orang-orang yang telah memberikan kepercayaan melalui proses politik setiap lima tahun sekali, justru dengan sadar mengabaikannya.

Masa reses DPR RI setiap tiga bulan sekali harusnya digunakan untuk bekerja dan mengunjungi konstituen bukan untuk bersenang-senang.

Minggu, 14 Desember 2008

Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres

[ Sabtu, 13 Desember 2008 ]
Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres
Peluncuran Buku Dihadiri Sejumlah Calon Presiden

JAKARTA - Megawati Soekarnoputri, capres dari PDIP, tampaknya sadar betul dengan risiko negatif bila cawapresnya nanti menyimpan obsesi besar untuk menjadi presiden. Bukan tidak mungkin akan terjadi persaingan merebut simpati yang bisa kontraproduktif bagi jalannya pemerintahan sekiranya jika dia benar-benar terpilih dalam Pilpres 2009.

Karena itu, selain memiliki komitmen terhadap NKRI, Pancasila, dan pluralisme serta mampu menambah potensi suara, Mega berharap cawapresnya bukan orang yang nanti justru menjadi rival di pemerintahan.

"Awas lho, aku emoh wapresku mikir de'e presiden (Awas, saya tidak mau Wapres saya nanti mikir dia yang presiden, Red)," kata Mega dalam launching buku Mereka Bicara Mega di Hotel Sultan, Jakarta, kemarin (12/12).

Dengan nada bercanda, dia menyentil, banyaknya tokoh yang pernah dikandidatkan menjadi cawapresnya belakangan malah mendeklarasikan diri sebagai capres. "Kok nggak ada yang deklarasi jadi cawapres ya? Pram (Sekjen PDIP Pramono Anung, Red) sampai bingung mau duluan umumkan kriteria atau nama. Saya jawab, lho kamu kan yang Sekjen," cetus Mega lantas tertawa.

Acara yang berlangsung meriah mulai pukul 14.30 WIB itu memang dihadiri sejumlah tokoh yang sudah mendeklarasikan diri sebagai capres. Ada Sri Sultan HB X, Fadel Muhammad, Rizal Ramli, dan capres independen Fadjroel Rahman. Hadir juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufik Kiemas dan Pramono.

Dari kalangan politisi, pengamat, dan aktivis, hadir Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi, Yudi Latief, Sukardi Rinakit, Garin Nugroho, Ikrar Nusa Bakti, dan Effendy Gozali.

Adapun buku Mereka Bicara Mega merupakan kumpulan artikel dari 38 tokoh nasional dengan beragam latar belakang. Sesuai dengan judul buku itu, mereka membuat penilaian terhadap sosok putri proklamator Bung Karno tersebut.

Tidak main-main, tokoh sekaliber Ahmad Syafii Ma'arif, Akbar Tandjung, Amien Rais, Prabowo Subianto, Salahuddin Wahid, Jalaludin Rahmat, Khofifah Indar Parawansa, Alwi Shihab, Rokhmin Dahuri, Ahmad Sumargono, dan Malik Fadjar ikut berkonstribusi. Malah, Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin yang diberi porsi memberikan kata pengantar tak kuasa menahan diri untuk tidak ikut berkomentar.

"Itu bagian dari kejutan yang diberikan teman-teman, mungkin karena jengkel. Soalnya, saya memang paling malas diminta untuk menceritakan diri sendiri," ungkap Mega.

Sementara itu, Pramono menyatakan, banyak hal menarik yang terungkap dalam buku tersebut. Misalnya, kisah Akbar dengan Mega sewaktu keduanya masih remaja. "Ternyata, saat SMP, Pak Akbar sering menjemput Ibu Mega untuk les bahasa Inggris," ujarnya yang langsung disambut tawa hadirin.

Dalam tulisannya, Akbar memang menceritakan bahwa dirinya dan Mega duduk di SMP yang sama, yaitu SMP Cikini, Jakarta Pusat. Meskipun Mega berstatus anak presiden yang terikat protokoler, ungkap dia, mereka tetap menjaga jalinan komunikasi. Misalnya, Akbar hadir di acara ulang tahun Mega meskipun tidak diundang.

Pada 1970-an, selepas SMP, mereka sama-sama mengambil kursus bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA). "Bahkan, saya pernah mengantarnya pulang setelah kursus. Artinya, kami telah menjalin hubungan silaturahmi sejak masih muda," curhat Akbar dalam tulisannya.

Dalam sambutan itu, Sri Sultan HB X menuturkan sejak kecil mengenal Mega. Malah, di antara kedua orang tua, sudah tumbuh komitmen dan cita-cita yang sama untuk memerdekakan republik dan mempertahankan kemerdekaan. "Tugas kami tentunya menjaga nama baik orang tua masing-masing," ucapnya.

Fadel menjelaskan, selama menjadi presiden, Mega tiga kali mengunjungi Gorontalo. Dalam kunjungan itu, papar dia, Mega selalu mendorong dirinya untuk mengembangkan potensi daerah seoptimalnya.

"Saya sendiri meyakini, kalau daerah maju, negara pasti kuat. Sekarang ini, semua masih tersentralisasi di pusat. Sepertinya, negara ini cuma Jakarta. Sementara itu, anggaran daerah kecil. Makanya, pembangunan daerah tersendat-sendat," ujarnya.

Kepada wartawan yang bertanya soal peluang mendampingi Mega sebagai cawapres, Fadel menjawab dengan sangat diplomatis. "Saya berpikir sederhana saja. Saya punya kelemahan, yaitu masih menjadi gubernur dan ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo," terangnya.

Mengapa menjadi ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo menjadi persoalan? "Politik itu sangat sensisitf. Makanya, jangan sampai salah main. Nanti bisa terjebak. Bagaimanapun, hasil pemilu pasti berpengaruh," tegasnya. Masih berharap bisa melalui jalur Golkar? "Golkar kini ibaratnya lagi macet. Mobil di belakang tit...tit...tit, tapi yang depan nggak mau jalan," candanya.

Taufik juga menolak berkomentar banyak, apakah yang ideal duet Mega-Sultan atau Mega-Fadel. Menurut dia, pendekatan Jawa-luar Jawa sudah tidak relevan. "Keduanya sama-sama mewakili bangsa Indonesia," ungkapnya. Mengapa kandidat capres lain tidak diundang? "Oh, Prabowo dan Hidayat diundang, cuma berhalangan," imbuhnya. (pri/tof)

Senin, 01 Desember 2008

Pendamping Megawati Ditentukan Usai Pemilu Legislatif

Pendamping Megawati Ditentukan Usai Pemilu Legislatif

Chung Sung-Jun/Getty Images
Megawati Soekarnoputri

JAKARTA, RABU - Anggota Dewan Pertimbangan Partai (DPP) PDI Perjuangan, A.P. Batubara menjelaskan, partainya baru akan menentukan siapa yang akan dijadikan sebagai pendamping Megawati Soekarnoputri di 2009 mendatang setelah mengetahui hasil Pemilu Legislatif 2009. Pengunduran penetapan calon wakil presiden Megawati, lanjut A.P. Batubara, berdasar pertimbangan situasi politik yang dinamis.

Ia kemudian membantah Rakernas III PDI Perjuangan yang akan dilangsungkan di Solo, Jawa Tengah pada awal tahun depan, 27-29 Januari nanti untuk mengumumkan secara resmi pendamping Megawati di 2009.

"Agenda utamanya di Rekernas nanti adalah mempersiapkan Pemilu legislatif. Belum akan mengumumkan siapa cawapresnya. Hanya saja memang, yang sudah melamar Bu Mega sudah banyak, tapi kita belum akan menjelaskannnya siapa. Yang jelas, mereka yang menawarkan diri untuk menjadi pendamping bu Megawati," kata AP Batubara.

Dijelaskan, penentuan cawapres PDI Perjuangan usai Pemilu legislatif ini, juga didasari atas dasar kehati-hatian dalam memilih pendamping Megawati di 2009. Terlebih, lanjutnya lagi, PDIP sampai saat ini masih menginginkan adanya sebuah koalisi di 2009 nanti.

"Koalisi sangat penting. Namun dengan siapanya, masih penuh pertimbangan. Tapi secara pribadi, kalau PDI Perjuangan bisa meraih suara sampai 30 persen, koalisi sudah tidak perlu dilakukan. Segala sesuatunya, tentu menjadi keputusan partai dan bu Megawati,dengan siapa mau berpasangan dalam Pemilu nanti," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo juga sudah menyatakan partainya masih belum bisa memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping Megawati dalam pemilihan presiden 2009 mendatang. Tjahjo beralasan, PDI Perjuangan menginginkan agar pendamping Megawati didukung oleh parpol untuk membangun system presidensil yang efektif dengan koalisi parpol kuat termask di tingkat parlemen.

"PDIP akan memutuskan siapa pendamping Mega setelah mengetahui hasil pemilu legislative 2009. Oleh karena itu, saya meminta kepada seluruh kader PDIP untuk bisa memahami lambannya PDI-P mengumumkan nama pendamping Mega. Ini disebabkan atas perkembangan yang terjadi. Mencari figur yang dianggap serius dan mampu menjadi cawapres ternyata dideklarasikan menjadi capres oleh parpol lain," kata Tjahjo Kumolo.

Tjahjo juga membenarkan sudah ada sejumlah nama namun belum bersifat final karena dinamika politik berubah-ubah. "Kita tidak mau salah mengambil figur. Cawapres bu Mega nanti diharapkan mampu menambah perolehan suara dan tidak hanya mengandalkan perolehan suara dari Bu Mega sendiri," jelasnya.

Kini, ada lima nama yang disebut-sebut sedang dipertimbangkan secara matang untuk dijadikan calon pendamping Megawati dalam Pilpres 2009 mendatang. Ke limanya antara lain, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Gerindra, Prabowo Subianto serta Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto.(Persda Network/YAT)

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Litbang Kompas/Pandu

KEPENTINGAN pragmatis partai politik untuk meraup suara dalam waktu singkat memunculkan beragam upaya untuk merebut simpati generasi muda yang tidak peduli kepada politik.

Meilan Saidui (20), mahasiswi semester pertama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Manokwari, Papua Barat, asyik menonton sinetron Kawin Massal. Walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, tak henti-hentinya dia bercerita tentang idolanya, Agnes Monica, yang cantik, jago akting, dan merdu suaranya.

Jangan tanya Meilan tentang tokoh politik atau pemerintah. Alisnya langsung mengkerut dan bibirnya tertutup rapat.

Di Palu, Faradilah (19), mahasiswa semester V STMIK Bina Mulia banyak mengisi waktunya dengan nonton sinetron dan infotainment. Acara berita, jarang ditonton. Demikian juga Mad Fadhol (17) dan Isti Wijayanti, keduanya siswa SMA Negeri 1 Samarinda yang sukanya menonton siaran olahraga dan reality show.

Kalangan mahasiswa, Nuzula dari Universitas Negeri Jakarta dan Hety Apriliastuti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga mengakui lebih banyak tertarik pada hiburan dan infotainment daripada memerhatikan berita politik. ”Di jalan-jalan sih belakangan ini banyak tempelan poster wajah caleg, tapi enggak kepikiran,” kata Hety.

Kalau sudah begitu, rasanya tidak aneh ketika Nuzula mengaku tidak tahu kapan pemilu akan dilaksanakan. Kalau tanggalnya saja tidak tahu, bagaimana dengan profil calon legislatif maupun program partai?

”Jangankan memahami caleg, siapa atau bagaimana, partai yang mengusungnya pun saya hanya tahu satu atau dua,” tukas Nurhayati (20), mahasiswi Umitra, Bandar Lampung.

Tak kenal caleg

Lewat jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 221 orang berusia 17-21 tahun yang didefinisikan sebagai pemilih pemula atau memilih untuk pertama kalinya, hanya 2,3 persen yang mengakui tahu banyak tentang program partai politik.

”Tidak ada caleg yang saya kenal, malah saya tidak ingat nama menteri dan dari partai mana dia berasal,” kata Anto (21), warga Kota Makassar yang berprofesi sebagai tukang parkir dengan pendapatan Rp 60.000 per hari.

Walaupun demikian, 80,5 persen menyatakan akan ikut dalam pemilu, baik legislatif maupun presiden. Keinginan untuk ikut memilih ini disambut positif oleh Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.

Menurut dia, walau 67,4 persen motivasi mereka hanya untuk menunaikan hak dan sebagian menyebutnya kewajiban, ini adalah hal positif yang bisa menjadi dasar pemikiran bahwa pemilu adalah hal penting.

Gancar Tri Wicaksono (18), atlet biliar dari Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto mengaku antusias untuk ikut Pemilu 2009. Ia sangat berharap lewat pemilu nanti akan terpilih anggota legislatif yang membawa perubahan di bidang ekonomi sehingga harga BBM dan makanan tidak naik terus. ”Lewat kawan-kawan dan isu yang berkembang bisa ketahuan mana yang baik,” katanya.

Para pemilih pemula ini rupanya memandang kejujuran sebagai kriteria utama mereka memilih anggota legislatif atau presiden. Pengalaman kepemimpinan juga dianggap perlu, tanpa memedulikan usia ataupun program.

Melihat potensi pemilih pemula yang menggiurkan—jumlahnya mencapai sekitar 36 juta orang atau 19 persen dari pemilih total—mayoritas partai politik menyusun strategi untuk merebut suara mereka.

Strategi parpol

Mengakui kesulitan untuk menembus dinding ketidakpedulian para pemilih muda ini, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengambil langkah pembentukan citra. Mereka mengadakan acara-acara yang sepertinya cocok dengan selera anak muda.

Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar bercerita bagaimana anak-anak dari anggota Partai Golkar, misalnya, yang tergabung di G23 mengadakan pertandingan futsal dan band indie. Diharapkan, lewat acara ini terjadi pertemanan yang kemudian membuat anak-anak muda tertarik memilih Golkar. ”Anak-anak muda ini tidak sampai berpikir apakah kepentingan mereka diakomodasi Golkar, yang penting image,” kata Rully.

Hal serupa dilakukan PDI-P, yang 11 Januari 2008 mendeklarasikan Taruna Merah Putih. Menurut ketuanya, Maruarar Sirait, pihaknya mengadakan kegiatan seperti bimbingan belajar, pelatihan komputer. Melalui kegiatan tersebut PDI-P ingin membangun citra. Soal pendidikan politik, itu dilakukan sambil jalan.

Sementara Partai Keadilan Sejahtera berupaya memupus citra sebagai partai eksklusif dengan organisasi bernama Gema Keadilan (GK). GK dibuat untuk meraih pemilih pemula dan anak muda. Menurut ketuanya, Rama Pratama, penjaringan diambil dari simpul-simpul massa dari komunitas yang sudah ada, seperti Jakmania, suporter Persija.

Mereka juga berusaha membuka diri terhadap komunitas yang selama ini tidak tersentuh, seperti preman serta komunitas musik Slank dan Iwan Fals. ”Kalau soal pendidikan politik, yah proseslah,” katanya.

Bentuk bimbingan tes dan olahraga dilakukan Partai Demokrat untuk meraih simpati pemilih pemula. Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menargetkan kedekatan psikologis lewat kegiatan sporadis.

Terkait itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo, mengomentari, upaya yang dilakukan parpol-parpol itu bukanlah pendidikan politik, bahkan bisa dikatakan memanipulasi. ”Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik. (EDN/MDN/MHD/REN/ ICH/ROW/HLN/BRO)

Memetakan Minat Pemilih Pemula

Memetakan Minat Pemilih Pemula

Litbang Kompas/Gunawan

MENYANDANG sebutan sebagai pemilih pemula, golongan penduduk usia 17 hingga 21 tahun tidaklah selalu buta soal politik, termasuk soal pemilihan umum yang akan dihelat negeri ini tahun depan. Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya. Yang berbeda adalah soal antusiasme dan preferensi.

Antusiasme pemilih pemula, yaitu pemilih yang akan mengikuti Pemilu 2009 untuk pertama kalinya, terangkum dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 25-27 November lalu. Dari sejumlah pemilih pemula yang diwawancarai melalui telepon, terungkap bahwa mayoritas (86,4 persen) menyatakan akan menggunakan hak suara mereka dalam pemilu.

Tingkat antusiasme ini termasuk paling tinggi. Pada kelompok pemilih muda lainnya, yang sudah pernah menggunakan hak suaranya, seperti kelompok usia 22-29 tahun dan 30-40 tahun, tingkat antusiasmenya lebih rendah sekitar 5 persen. Pada kelompok usia yang lebih tua, yakni 41 tahun ke atas, antusiasme untuk mengikuti pemilu dalam bentuk memberikan suara lebih rendah lagi, yaitu 79,3 persen.

Alasan di balik niat mencoblos para pemilih mula adalah pemikiran bahwa apa pun hasil pemilu akan berdampak juga bagi kehidupan mereka, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih baik ikut memberikan suara. Namun, seperti apakah sebenarnya preferensi para pemilih pemula ini?

Setelah berjalan hampir empat bulan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 34 parpol nasional peserta Pemilu 2009 yang kemudian bertambah menjadi 38 parpol, pengenalan para pemilih pemula terhadap parpol masih rendah.

Lebih banyak responden pemilih pemula yang mengaku hanya tahu nama partai-partai besar yang sudah ada sejak dulu. Kondisi ini sebenarnya juga sama pada kelompok pemilih muda lainnya, bahkan juga pada pemilih yang tua. Tidak heran hanya sekitar 1,5 persen dari total responden yang mengaku mengetahui hampir semua parpol.

Hal ini mengindikasikan masih lemahnya sosialisasi partai-partai baru di masyarakat. Selain banyak tidak mengetahui keberadaan partai baru, bagian terbesar responden juga tidak mengetahui nama-nama caleg yang diusung parpol. Padahal mereka (caleg) inilah yang nantinya akan dipilih.

Jika seandainya saat ini dilakukan pemilihan umum legislatif, sejumlah besar pemilih pemula ini (33,9 persen) masih belum memutuskan partai mana yang akan dipilih. Sementara itu, sejumlah 49 persen responden pemilih pemula yang sudah punya pilihan diperebutkan oleh partai-partai mapan seperti Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golkar.

Partai-partai baru, meski tidak dinafikan oleh para pemilih pemula untuk dipilih, belum sampai pada tingkat menarik minat mencoblos. Artinya, preferensi pemilih pemula terhadap partai baru dalam tingkatan penerimaan (akseptabilitas) namun belum konkret menjadi sebuah pilihan politik (elektabilitas)

Pengaruh keluarga

Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.

Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat.

Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.

Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim (lihat tabel). Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.

Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).

Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.

Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.

Program kampanye

Meski tidak mudah, tingginya antusiasme pemilih pemula untuk ikut mencoblos pada pemilu tahun depan menjadi peluang bagi partai baru.

Menurut responden, program atau isu yang perlu dikembangkan dalam kampanye partai agar menarik minat kalangan pemilih pemula adalah soal pendidikan dan kesehatan (30,8 persen).

Program yang perlu diperhatikan selanjutnya secara berturut-turut adalah kesejahteraan umum (21,3 persen) dan isu perekonomian (13,1 persen).

Tingginya antusiasme dan gambaran ideal pemilih pemula mengenai Indonesia, nantinya akan teruji saat Pemilu 2009. Suara pemilih pemula akan turut menentukan arah pemerintahan yang baru.

Paling tidak, didapat gambaran bahwa sesungguhnya kaum muda terutama pemilih pemula, tidak lagi apatis terhadap proses demokrasi saat ini.
(Litbang Kompas/GIANIE)

Megawati Hadiri Natal Bersama di Manado

Megawati Hadiri Natal Bersama di Manado
Megawati Soekarnoputri


Selasa, 2 Desember 2008 | 08:12 WIB

MANADO, SELASA - Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri dijadwalkan akan ikut perayaan Natal bersama dengan jajaran pengurus dan kader PDIP Sulawesi Utara (Sulut), pada akhir Desember 2008.

Wakil Ketua I DPD PDIP Sulut, Jendry Keintjem, Selasa, di Manado mengatakan, kegiatan ibadah Natal bersama di daerah itu merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan Megawati setiap tahun di Sulut.

Kunjungan Ketua DPP PDIP itu akan dirangkaikan dengan peresmian Kantor DPD PDIP Sulut yang dibangun atas biaya kader partai bersama calon anggota legislatif.

"Kehadiran Ibu Mega akan menjadi momentum kebangkitan partai ini untuk kembali memenangkan Pemilu 2009," ujarnya.

Ibadah Natal PDIP bersama Mega dilakukan secara terbuka dengan masyarakat Sulut, kata Keintjem yang juga Wakil Ketua DPRD Sulut.

DPD PDIP Sulut sendiri akan melaporkan seluruh kegiatan konsolidasi partai hingga ke tingkat desa dan kelurahan, terutama target untuk meraih minimal 12 kursi DPRD Sulut pada Pemilu 2009, katanya.

Jumat, 28 November 2008

Makin Banyak Nelayan Beralih Tangkap Lobster

Perikanan
Makin Banyak Nelayan Beralih Tangkap Lobster
Jumat, 28 November 2008 | 11:10 WIB

Gunung Kidul, Kompas - Seiring datangnya puncak musim panen lobster, nelayan di sepanjang pantai Gunung Kidul beralih mencari lobster. Selain menebar jaring di perairan dekat tebing karang, sebagian nelayan memasang krendet dari lingkaran besi yang diletakkan semalaman di tepi tebing. Panenan lobster tahun ini cukup melimpah dibandingkan dengan tahun lalu.

Nelayan yang mencari lobster juga semakin banyak karena harga cukup tinggi. Seluruh nelayan dengan kapal berkekuatan 15 PK dan 20 PK di Pelabuhan Sadeng, misalnya, telah beralih mencari lobster. Demikian pula di Pantai Baron dan Pantai Drini. "Tangkapan kami tidak sebanyak tahun lalu karena pencari lobsternya lebih banyak," kata nelayan Sadeng, Wagiman, Kamis (27/11).

Melaut tiga hingga lima jam dengan kapal 15 PK, Wagiman memperoleh 3 kilogram lobster. Sementara nelayan dengan kapal 20 PK bisa menangkap hingga 7 kilogram lobster dari tahun lalu bisa maksimal 15 kilogram lobster. Biaya produksi untuk pembelian bahan bakar sekali melaut sebesar Rp 50.000.

Pencari lobster dengan menggunakan krendet, Juhari, mengeluh rendahnya panenan lobster tahun ini akibat banyaknya pencari lobster. Jika tahun lalu bisa memperoleh hingga 5 ons lobster per hari, kini ia hanya mendapat 2 ons. Tiap hari, Juhari memasang 10 buah krendet di tebing-tebing Pantai Sadeng.

Jenis lobster yang diperoleh cukup beragam mulai dari lobster mutiara, hijau, kipas, dan batu. Panenan lobster tersebut telah berlangsung sejak satu bulan terakhir. Limpahan panenan lobster menyebabkan pedagang bisa memasok lobster setiap dua hari sekali dibandingkan tahun lalu yang maksimal tiga hari sekali.

Lobster biasanya dipasok ke Jakarta dalam keadaan hidup. Lobster yang telah mati tetap laku, tetapi dijual separo harga dari lobster hidup. Lobster berukuran 3-6 ons untuk jenis mutiara laku dijual Rp 435.000, lobster batu seharga Rp 130.000, dan lobster pasir Rp 240.000 per kilogram.

Pesawat kargo

Beberapa pedagang lobster juga mulai bermunculan dengan membuat kolam penampungan di sekitar pemondokan nelayan. Pedagang lobster, Aan, mengaku bisa memasok 80 kilogram hingga 1 kuintal lobster setiap dua hari sekali. Pengiriman lobster ke Jakarta tersebut dilakukan dengan menggunakan pesawat kargo.

Jika nelayan kapal kecil mulai menikmati keuntungan panenan lobster, nelayan kapal berbobot mati 50 ton di Pelabuhan Sadeng justru tidak bisa melaut akibat bertiupnya angin barat. Nelayan bernama Kodrat memperkirakan, nelayan tidak akan bisa melaut untuk mencari ikan tuna hingga 15 hari ke depan. (WKM)

Sundak Jadi Contoh

Sundak Jadi Contoh
Desa di Kawasan Wisata Harus Ada Listriknya
Jumat, 28 November 2008 | 11:07 WIB

Kidul, Kompas - Potensi bahari yang dimiliki Gunung Kidul dengan 19 pantainya harus menjadi kekuatan untuk mengentaskan kabupaten tersebut dari ketertinggalan. Pantai Sundak bisa dijadikan proyek percontohan pengembangan pariwisata yang mampu meningkatkan masyarakat sekitar.

Pemunculan potensi Pantai Sundak memang baru sejumput dilakukan, yakni tahun 2003 lalu, ketika ada investor membeli lahan dan mendirikan resor. Pembangunan Watu Lawang Resort, nama resor itu, hanya mengubah sedikit morfologi bebatuan pantai.

"Pemkab dan masyarakat ikut dilibatkan. Sebagian karyawan resor juga warga setempat dan itu membantu perekonomian masyarakat," ujar Birowo Adie, Kepala Bidang Pengembangan Produk Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Gunung Kidul, Kamis (27/11).

Hal itu disampaikannya di sela-sela tur pariwisata yang diadakan Badan Pariwisata Daerah (Baparda) DIY dan Pemkab Gunung Kidul. Tur yang diikuti pelaku pariwisata ini mengunjungi Bukit Nglanggeran, Desa Wisata Bobung, Pantai Kukup, dan Sundak.

"Semua pantai tidak dikonsep persis seperti Pantai Sundak mengingat keunikan tiap pantai berbeda. Yang hendak kami lakukan hanya mengadopsi pengembangan pariwisata di Sundak yang melibatkan peran warga dan pembangunannya ramah lingkungan," ucap Birowo. Rugi

Birowo menuturkan Pemkab Gunung Kidul sudah membuat sebagian rencana tata ruang tiap pantai sebagai kesiapan menyambut investor. "Ketika investor hendak masuk, sudah ada tata ruangnya. Bagi investor asing, tata ruang wilayah harus ada," katanya.

Watu Lawang, resor milik investor lokal ini, mempunyai sekitar 50 karyawan, 12 di antaranya adalah warga setempat. Kepala Operasional Watu Lawang Resort Heri Tri Wibowo menjelaskan dalam sebulan resornya menerima 5-6 tamu (keluarga) untuk bermalam.

Hanya saja, wisata bahari Gunung Kidul yang indah tidak diimbangi pemenuhan fasilitas listrik. Sumarno, Ketua Kelompok Pelestari Lingkungan di Sundak, mengatakan tiga desa di pesisir Sundak dan Krakal, yakni Desa Ngestiharjo, Sidoarjo, dan Tepus, masih gelap. Listrik belum menyentuh 130-an rumah di sana.

"PLN (perusahaan penyedia listrik) mengatakan rugi kalau memasang listrik kemari. Ini harus dicari solusinya," ucapnya. (PRA)

Presidensial Cita Rasa Parlementer

Presidensial Cita Rasa Parlementer
Jumat, 28 November 2008 | 01:03 WIB

Syamsuddin Haris

Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?

Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.

Perangkap konflik

Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.

Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan ”gangguan DPR” meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?

DPR ”heavy”

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).

Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partai-partai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu.

Ada beberapa solusi lain.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi.

Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR.

Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari.

Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.

Cita rasa parlementer

Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung ”sarat DPR”, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik?

Jika tidak, desain presidensial dengan ”cita rasa” parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabil—karena tersedia mekanisme konsultasi—tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif.

Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang.

Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Majikan Bunuh Pembantu Diancam 20 Tahun

pengadilan
Majikan Bunuh Pembantu Diancam 20 Tahun
Jumat, 28 November 2008 | 01:28 WIB

Jakarta, Kompas - Renata Tan (49) yang menganiaya Lina, pembantunya, hingga tewas dituntut jaksa penuntut umum dengan ancaman 20 tahun penjara. Tuntutan itu disampaikan jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (27/11) siang.

Jaksa Subarno mengatakan, Renata Tan melanggar Pasal 338 KUHP dan subsider Pasal 351 Ayat 3 karena menganiaya seseorang hingga mengakibatkan kematian. ”Perbuatan tersebut termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terdakwa diancam hukuman penjara 20 tahun,” kata Subarno seusai sidang. Terdakwa Renata Tan menunduk saat JPU membacakan dakwaan.

Renata tidak didampingi penasihat hukum dalam persidangan. Penasihat hukum yang datang diminta duduk di kursi pengunjung karena belum memiliki surat kuasa dari terdakwa Renata Tan.

Dalam sidang perdana yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jhoni P Panjaitan, acara diisi pembacaan dakwaan. Persidangan yang berlangsung di ruang utama PN Jakbar, ruang Garuda, tidak dipenuhi pengunjung.

Beberapa kerabat yang diduga putra Renata Tan terlihat hadir dan sesekali bercanda di bagian belakang ruang sidang. Suami Renata Tan, seorang dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit terkenal di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, tidak terlihat menghadiri sidang.

Menurut Subarno yang ditemui wartawan seusai sidang, Renata memang diketahui pernah melakukan perbuatan serupa. ”Tetapi, saya tidak bilang berapa kali tepatnya,” ujarnya.

Selain penganiayaan yang menewaskan Lina, Renata ketika itu juga menganiaya pembantu lain di rumahnya di kawasan Kedoya, Jakarta Barat.

Sebelum kasus yang menimpa Lina, Renata Tan pernah dua kali menganiaya dua pembantu hingga meninggal dunia dalam peristiwa tahun 1992 dan 1996. Penganiayaan yang dilakukan bulan Agustus 1992 menimpa pembantu bernama Atun. (ONG)

Kamis, 27 November 2008

PDI-P Usung Jargon "Perjuangkan Sembako Murah"

PDI-P Usung Jargon "Perjuangkan Sembako Murah"


KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga berdesakan untuk mendapatkan paket sembako dan singkong gratis dari sebuah organisasi kemasyarakatan di bekas Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, Minggu (11/3/07).

JAKARTA, KAMIS — Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan resmi meluncurkan jargon politik menghadapi pertarungan Pemilu 2009. Jargon politik yang dipakai adalah "Perjuangkan Sembako Murah".

Sekjen DPP PDI-P Pramono Anung dalam jumpa pers di Mega Institute, Kamis (27/11), menjelaskan, jargon yang diambil dalam menghadapi Pemilu mendatang berdasarkan kegagalan pemerintah membuat rakyatnya mampu membeli sembako secara murah.

"Secara resmi, hari ini PDI Perjuangan me-launching dan memulai kampanye dengan isu perjuangkan sembako murah. Kami menyayangkan pemerintah saat ini gagal membuat harga sembako lebih terjangkau. Dari data 2004-2008, kenaikkan harga sembako melampaui daya beli masyarakat," kata Pramono.

Pramono menjelaskan, komoditas pangan atau sembako berkontribusi besar dalam menyumbang inflasi sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat tergerus. Situasi inilah, kata Pramono, menjadi perhatian serius, mengingat 60 persen lebih penduduk Indonesia pengeluarannya masih terfokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok.


Rachmat Hidayat

Minggu, 23 November 2008

Wakil PM Najib Terpilih Memimpin UMNO

Wakil PM Najib Terpilih Memimpin UMNO


Perdana Menteri Malaysia yang juga Presiden Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Abdullah Ahmad Badawi (kanan) bersama deputinya, Najib Razak, di Kuala Lumpur, Minggu (6/4). Badawi memastikan Najib Razak sebagai penggantinya.
Selasa, 4 November 2008 | 05:51 WIB

KUALA LUMPUR, SELASA - Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Razak terpilih menduduki posisi kepemimpinan partai berkuasa, yakni Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau UMNO. Kantor berita Bernama, Senin (3/11), menyatakan, kini Najib berpeluang terpilih menjadi PM saat kongres partai nasional dan pemilihan PM yang digelar pada 24-28 Maret 2009.

Dalam pemilihan pemimpin di UMNO, Najib mendapatkan nominasi mayoritas 191 divisi UMNO secara nasional. Sampai saat ini ia memperoleh 140 divisi dan makin sulit terkejar. Satu-satunya lawan Najib adalah mantan Menteri Keuangan Tengku Razaleigh Hamzah yang hanya menerima satu divisi. Setiap kandidat harus mengumpulkan sedikitnya 58 divisi untuk bisa menjadi presiden atau pemimpin UMNO.

Sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1957, PM Malaysia selalu berasal dari pemimpin UMNO yang menjadi mayoritas pada koalisi 13 partai yang multietnis, Barusan Nasional (BN). Jika terpilih menjadi PM, Najib menggantikan posisi PM Abdullah Ahmad Badawi yang dipaksa mengundurkan diri setelah ”kegagalan BN dan UMNO” pada pemilu.

Para pengamat politik menilai sejak awal sudah yakin Najib yang menggantikan Badawi. Apalagi tidak ada kandidat lain yang lebih kuat dan dianggap mampu menyaingi Najib. Terlebih setelah Badawi "mengumumkan" Najib sebagai calon pengganti Badawi.

"Ia mendapat dukungan yang kuat karena tidak ada calon lain yang tepat di UMNO. Tak ada juga yang berani menominasikan kandidat lain, terutama sejak Badawi menunjuk Najib," kata Mohammad Agus Yusoff dari National University of Malaysia.

Tugas berat

Meski akan "menang mudah", Agus memperkirakan Najib akan menghadapi masa-masa sulit, terutama masalah krisis ekonomi. "Mau tidak mau ia harus minta bantuan," ujarnya.

Kini yang terpenting, menurut Ibrahim Suffian di Pusat Penelitian Merdeka, adalah menunggu kinerja Najib. Apakah ia akan bisa mewujudkan reformasi dalam segala bidang seperti yang pernah dijanjikan Badawi. "Banyak yang menduga ia hanya mengutamakan kepentingan UMNO," ujarnya. (REUTERS/AFP/LUK)

Najib Razak, Sang Akuntan Politik

Najib Razak, Sang Akuntan Politik

Mohd Najib bin Tun Abdul Razak
Senin, 24 November 2008 | 05:00 WIB

TRIAS KUNCAHYONO

”Saya bukanlah perokok berat. Ini saya lakukan saat menerima tamu saja. Itu pun di rumah,” kata Najib Razak mengawali cerita perjalanan hidupnya, sambil sesekali mengisap cerutu. Malam itu, orang kedua Malaysia ini tampil dengan baju merah marun lengan panjang, celana warna krem, tanpa sepatu.

Umur saya baru 22 tahun lebih sembilan bulan, ketika pertama terjun ke dunia politik,” kata Najib Razak.

Inilah jalur kehidupan yang tak dikehendaki keluarganya. Padahal, sang ayah, Tunku Abdul Razak, adalah perdana menteri kedua Malaysia. Namun, ia juga tak menginginkan anak lelaki pertama dari lima bersaudara itu menerjuni dunia politik.

”Saya berkeyakinan, politik adalah aktivitas sosial yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Lewat politik kita memperjuangkan nasib rakyat,” katanya.

Orangtua mengharapkan Najib menjadi akuntan. Oleh karena itu, ia sekolah di Universitas Nottingham, Inggris, pada jurusan ekonomi. Sekembalinya ke Malaysia tahun 1974, ia bekerja di Central Bank, lalu bergabung dengan Petronas (Petroliam Nasional Berhad), perusahaan minyak dan gas Malaysia yang didirikan pada 1974. Saat Najib bergabung dengan Petronas, perusahaan milik negara itu dipimpin Tengku Razaleigh Hamzah, yang kemudian menjadi salah satu mentor politiknya.

Walaupun Razaleigh Hamzah mentor politiknya, saat Razaleigh terlibat pertarungan politik dengan Mahathir Mohammad, Najib mengambil sikap tegas yang menunjukkan kematangan berpolitiknya. ”Saya tetap setia pada pemimpin saat itu, Dr M,” kata Najib dalam buku Najib Razak, In His Own Right, 2006, karya Chamil Wariya.

Kesetiaan adalah unsur penting dalam berpolitik. Kesetiaan menjadi dasar lahirnya kepercayaan. Sekali aktor politik menunjukkan isyarat bisa dipercaya, kepercayaan rakyat pada politik menguat. Hal itu akan terungkap dalam partisipasi rakyat pada pemilu. ”Kepercayaan rakyat, itulah yang terus saya bangun,” kata kakek satu cucu ini.

Karisma ayah

Jalan hidup Najib berubah setelah ayahnya meninggal tahun 1976 di London. Ia diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat sebagai kandidat dari UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) mewakili daerah pemilihan Pekan, yang kosong sepeninggal ayahnya. Ia anggota parlemen termuda.

Mulailah tangga ke panggung politik tersedia baginya. ”Saya tak memungkiri, berkat perjuangan dan karisma almarhum Ayah, karier politik saya maju. Tapi, itu saja tak cukup. Saya juga berjuang sendiri sehingga sampai seperti sekarang,” kata pria yang rajin bermain golf ini. Dulu Najib senang bermain sepak bola, tetapi setelah lututnya cedera ia tak lagi main sepak bola.

Kendati pamannya saat itu menjadi perdana menteri (Hussein Onn), ia tak serta-merta ditarik masuk kabinet. Ia mengawali karier politik dari bawah. ”Melayani rakyat adalah jalan paling baik untuk mengubah perikehidupan rakyat menjadi lebih baik,” katanya.

Ia kemudian dipilih menjadi Ketua Pemuda UMNO Cabang Pekan, juga menjadi anggota Dewan Eksekutif Pemuda UMNO (1976). Pada 1981, Najib dipilih menjadi anggota Dewan Tertinggi UMNO, sebelum memenangi pertarungan memperebutkan jabatan Wakil Presiden Pemuda UMNO (1982). Lima tahun kemudian (1987) ia diangkat menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO menggantikan Anwar Ibrahim yang bertarung memperebutkan jabatan Wakil Presiden UMNO. Jabatan Presiden Pemuda UMNO jatuh kepadanya tahun 1988.

Ketika menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO itu, ia hampir ditangkap dan dipenjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional (Internal Security Act/ISA) karena menggalang demonstrasi yang diikuti tak kurang dari 2.000 orang. Demonstrasi digelar menjawab gerakan elemen-elemen yang meragukan dominasi Melayu.

Ia mengakui, hingga kini masalah Melayu dan non-Melayu masih belum tuntas sepenuhnya. Orang Melayu ingin mempertahankan dominasi, sebaliknya yang non-Melayu menginginkan persamaan hak dan meritokrasi. Kata Najib, pemerintah terus berupaya menyelesaikan masalah ini. Bahkan di bidang ekonomi, pemerintah berencana mengurangi aturan tentang kepemilikan yang melandasi kebijakan ekonomi proetnis Melayu.

Pilihan rakyat

Tahun 1993, saat Anwar Ibrahim memutuskan untuk bertarung memperebutkan jabatan Deputi Presiden UMNO, Najib dipilih untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Anwar: Wakil Presiden UMNO. Jabatan itu dipertahankan dalam tiga pemilu (1993, 1996, dan 2000).

Perjalanan kariernya memperlihatkan Najib tak sekadar menjalani hidup seperti disebut sang pujangga, vita umbratilis, ”hidup dalam bayang-bayang” ayahnya yang mewariskan sikap tanggung jawab, dedikasi, dan rasa memiliki.

Pada usia 25 tahun, Najib masuk kabinet. Inilah jabatan pertama di kabinet yang dipercayakan kepadanya, sebagai Deputi Menteri Energi, Telekomunikasi, dan Pos (1978). Sekali lagi, ia menjadi orang termuda dalam jabatan politik. Lalu, ia menjadi Deputi Menteri Pendidikan, Deputi Menteri Keuangan, serta Menteri Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Kemudian, ia menjadi Menteri Pendidikan, Menteri Pertahanan, dan sejak September lalu menjadi Menteri Keuangan.

”Ketika diangkat menjadi menteri pendidikan, saya merasa dipercaya menyiapkan generasi muda untuk masa depan Malaysia,” kata Najib yang senang membaca buku biografi para tokoh dunia dan tentang kemiliteran ini.

Kini, ia disiapkan oleh PM Abdullah Badawi sebagai penerusnya. ”Saya senantiasa mengingatkan pada diri sendiri, saya adalah nomor dua, nomor satunya Datuk Seri Abdullah,” katanya, sambil mengingatkan bahwa tak semua deputi perdana menteri pada akhirnya menjadi perdana menteri.

”Seorang pemimpin harus menyiapkan kader, pengganti. Seorang pemimpin juga harus mampu menyejahterakan rakyat karena ia dipilih rakyat dan dapat memberikan keuntungan politik bagi pemerintahnya. Bila hal itu tak terlaksana, dapat dikatakan gagallah pemimpin itu,” katanya.

”Seorang pemimpin baru dapat dikatakan berhasil bila dipilih lagi oleh rakyat dalam pemilu,” tambahnya.

Namun, Najib mengingatkan, jabatan politik jangan diraih lewat politik uang. ”Politik uang adalah kanker, karena itu harus diberantas. Seorang politisi yang menggunakan politik uang itu hanya menunjukkan dia tidak memiliki kompetensi, kapabilitas, dan tidak percaya diri,” tegasnya.

Menurut dia, seorang pemimpin tak perlu terlalu lama menjabat, tetapi juga jangan terlalu pendek agar programnya bisa berjalan.

”Ia dapat terus menjabat selama masih efektif dan diterima rakyat. Terlalu lama ia menjabat akan menghambat perubahan. Kekuasaan harus selalu dibagi, dilingkupi dengan batas, dan diperbarui dengan pemilu,” katanya.

Selain itu, pertanggungjawaban kepada rakyat juga penting karena ia bukan diktator. Namun, menjadi pemimpin karena dipilih rakyat.

Sabtu, 22 November 2008

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

SUWARDIMAN

Geopolitik pada Pemilu 2009, bisa jadi, sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pergeseran penguasaan wilayah kemungkinan akan banyak diwarnai oleh tumbuhnya kepercayaan diri partai pascapemilihan kepala daerah. Karena itu, laju pergeseran dominasi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mungkin tidak semulus dulu.

Setelah kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, dominasi kekuatan politik tetap dipegang oleh dua kekuatan partai lama, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar berjaya di luar Jawa dan PDI-P di Pulau Jawa. Selama dua pemilu terakhir, peta kekuatan terus berubah.

Pertarungan politik pada Pemilu 1999 yang melibatkan 48 parpol dimenangi oleh PDI-P yang merebut 33,74 persen suara, mengalahkan Partai Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara. PDI-P berhasil menang di 166 kabupaten/kota, sementara Golkar hanya mampu menguasai 114 wilayah.

Satu periode sesudahnya, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik secara nasional. Sebanyak 271 kabupaten/kota dikuasai partai berlambang beringin itu dengan total suara 21,57 persen, sedangkan PDI-P hanya mampu menguasai 89 kabupaten/kota dengan perolehan 18,53 persen suara. Partai ini juga hanya mampu mempertahankan 72 kantong massanya, dan kehilangan 22 lainnya. Meski PDI-P mampu membentuk kantong massa baru di 18 kabupaten/kota, parpol itu gagal mempertahankan Megawati Soekarnoputri untuk tetap duduk di kursi nomor satu negeri ini.

Jawa-Bali

Penyusutan kekuatan PDI-P pada Pemilu 2004 membuat partai politik ini cuma mampu menguasai 55 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Padahal, kantong massa yang paling kuat bagi PDI-P pada Pemilu 1999 adalah wilayah Jawa dan Bali, dengan penguasaan 142 kabupaten/kota.

Ini berarti, penguasaan wilayah Jawa dan Bali oleh PDI-P turun drastis dari 86,6 persen menjadi 44,4 persen. Sebaliknya, Partai Golkar, yang pada tahun 1999 hanya mampu memenangi empat kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, berhasil mengusai 31 daerah pada Pemilu 2004.

Menurunnya penguasaan wilayah oleh PDI-P di kawasan Jawa dan Bali menguntungkan bagi sejumlah partai berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKB meningkatkan dominasinya di 24 kabupaten/kota dari sebelumnya 14 daerah pada tahun 1999. Demikian juga PPP, menambah satu daerah pemenangan.

Kantong-kantong massa PDI-P di luar Jawa dan Bali juga banyak yang berguguran dan dikuasai partai-partai lain. Kemenangan PDI-P di 69 kabupaten/ kota luar Jawa-Bali pada tahun 1999 pun terkikis separuhnya, hanya menyisakan 34 daerah yang mereka kuasa pada Pemilu 2004.

Partai Golkar membuktikan kemenangannya di 240 kabupaten/kota atau sekitar 76,2 persen daerah di luar Jawa dan Bali pada Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai politik baru, sukses memenangi perolehan suara di 12 daerah, separuhnya adalah daerah di Pulau Jawa.

Pilkada dan koalisi

Hingga pertengahan tahun 2008, pemilihan kepala daerah langsung sedikitnya sudah diselenggarakan di 356 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Namun, banyak partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti tidak mampu mengandalkan modal suara yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen saat Pemilu 2004 di Sulut itu harus mengakui kemenangan PDI-P di wilayah itu. Golkar juga gagal menggiring calon gubernurnya di basis massanya di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Kekuatan satu partai akan tergambar jelas jika partai yang bersangkutan menjadi pengusung tunggal dan bukan koalisi. Namun, tidak banyak parpol yang cukup percaya diri mengusung pasangan calonnya secara tunggal. Bahkan, untuk daerah-daerah yang tercatat sebagai basis massanya pada pemilu legislatif 2004, banyak parpol yang berkoalisi dengan partai lain yang lebih kecil untuk bisa berhasil memenangi pilkada.

Analisis terhadap 352 kabupaten kota dan 24 provinsi yang sudah menyelenggarakan pilkada langsung selama tiga tahun terakhir menunjukkan, seratus bupati/wali kota dan delapan gubernur terpilih sukses diusung oleh partai tunggal. Selebihnya hasil koalisi partai yang mujarab mengusung pasangan calon meraih kursi nomor satu di daerah.

Partai Golkar tercatat sebagai motor politik yang paling banyak berhasil mengegolkan pasangannya menjadi bupati dan wali kota. Sebanyak 151 pasangan calon bupati/wali kota berhasil dimenangkan, sebanyak 54 di antaranya diusung secara tunggal. Disusul oleh PDI-P yang berhasil mengegolkan 96 pasangan calon menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 26 di antaranya diusung secara tunggal.

PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk enam gubernur terpilih dari 12 provinsi yang mereka menangi. Partai Golkar sendiri hanya mampu mengusung empat gubernur terpilih, dua di antaranya sebagai pengusung tunggal

Perubahan peta politik dari hasil pemilu ke pilkada tergambar paling jelas di wilayah basis massa partai-partai nasionalis, terutama peralihan dominasi suara dari Golkar ke PDI-P dan sebaliknya.

Di tingkat kabupaten/kota, Golkar mampu mempertahankan 40 daerah basis massanya dengan memenangi pilkada sebagai pengusung tunggal. Namun, Golkar kalah di sepuluh kantong massanya saat menjadi pengusung tunggal di pilkada.

Sebanyak empat di antaranya dimenangi oleh PDI-P sebagai pengusung tunggal. Daerah Golkar yang dimenangi PDI-P tanpa koalisi adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Teluk Bintuni, Musi Rawas, dan Maluku Utara Barat. Di level provinsi, calon dari PDI-P juga merebut empat daerah Golkar tanpa koalisi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, PDI-P juga kalah di delapan kabupaten/kota saat menjadi pengusung tunggal.

Delapan daerah yang saat Pemilu 2004 menjadi basis massa PDI-P dimenangi oleh Golkar tanpa koalisi saat pilkada, yaitu Kabupaten Karangasem (Bali), Sumba Barat, Blora, Boyolali, Purworejo, Klaten, Grobogan, dan Lampung Timur. Di level provinsi, tidak ada gubernur yang dimenangkan oleh Golkar di luar basis massanya.

Sementara itu, dari sejumlah calon yang diusung secara tunggal oleh Partai Keadilan Sejahtera, empat kabupaten/kota dimenangi partai ini. Dua daerah merupakan basis massa PKS saat Pemilu 2004, sementara dua lainnya merebut kantong massa Golkar dan PDI-P, yaitu Kabupaten Bekasi dan Bangka Barat.

Partai Amanat Nasional memenangi lebih banyak pilkada di luar wilayah basis massanya. Dari lima daerah yang calonnya diusung tunggal oleh PAN, tiga daerah merupakan basis Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Pesisir Selatan, Gunung Kidul, dan satu daerah basis PKB, yaitu Lamongan.

Pilkada seharusnya menjadi ujian bagi partai-partai besar menuju pesta akbar demokrasi tahun depan. Dari sini seharusnya bisa diukur apakah basis massa yang dimiliki parpol riil atau semu. (Litbang Kompas)

Kamis, 20 November 2008

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.(Litbang Kompas)

Indonesia Akan Tinggalkan Sistem Presidensial

Indonesia Akan Tinggalkan Sistem Presidensial

JAKARTA, JUMAT - Sistem pemerintahan presidensial yang selama ini diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia, sadar atau tidak sadar, lambat laun akan ditinggalkan. Sebaliknya, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan yang parlementer.

Perubahan itu diakibatkan reformasi politik dan amandemen konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik. Oleh sebab itu, amandemen UUD 1945 kembali merupakan sebuah kemestian, untuk merumuskan ulang sistem presidensial tersebut.

Demikian disampaikan pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), John Pieris, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap FH UKI di Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur, Jumat (14/11).

Mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu menyampaikan pidatonya yang berjudul "Proporsionalitas Kekuasaan Presiden RI dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil". Acara itu dihadiri Rektor UKI Bernard SM Hutabarat, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum UKI Yapto Suryosumarno, serta civitas akademika FH UKI.

"Beberapa kali perubahan terhadap beberapa pasal dan ayat UUD 1945, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan parlementer. Dan, secara sadar dan tidak sadar akan meninggalkan sistem pemerintahan presidensiil. Ini akibat reformasi politik dan konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik," tandas John Pieris.

Menurut John Piries, konstitusi atau hukum dasar pada dasarnya merupakan kontrak sosial. Oleh karenanya, konstitusi yang dibuat itu harus pula mencerminkan aspirasi politik dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. "Konstitusi yang dibuat oleh para pembuatnya tidak boleh semata-mata untuk kepentingan pembentuknya, tetapi justru harus secara objektif dan rasional mengakomodir aspirasi dari semua lembaga negara," ujarnya.

Diakui John Piries, proses perubahan konstitusi tidak dipersiapkan secara matang. Bahkan, terkesan terburu-buru, reaktif dan emosional. Pembentuk UUD (MPR yang dikuasai oleh anggota-anggota DPR) terkesan lebih mengutamakan kepentingan politik dan kekuasaannya. "Kekuasaan eksekutif dan judikatif diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga secara perlahan-lahan sistem pemerintahan presidensiil bergeser menjadi sistem pemerintahan parlementer," jelasnya.

John Pieris mencontohkan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 yang sudah diamandemen, akan tetapi terdapat beberapa kerancuan mengenai kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam perspektif sistem pemerintahan presidensiil. "Ada juga ketentuan yang menegaskan prinsip-prinsip pemerintahan presidensiil, namun dalam politik ketatanegaraan justru tidak tampak," papar John Piries, menyebut sejumlah pasal UUD 1945.

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Selasa, 18 November 2008

Ke mana janji reformasi Abdullah?

Ke mana janji reformasi Abdullah?
Amin Iskandar | Oct 9, 08 5:21pm

Abdullah Ahmad Badawi akhirnya mengumumkan untuk tidak mempertahankan jawatan presiden Umno dalam pemilihan parti yang ditangguhkan ke Mac 2009.

Beliau mengumumkan sehari sebelum mesyuarat bahagian parti tersebut yang dijadual bermula hari ini.

Ahli parlimen Kepala Batas akhirnya akur kepada desakan-desakan yang diterimanya agar melepaskan jawatan lebih awal daripada pelan peralihan kuasa yang telah dipersetujui oleh Majlis Tertinggi (MT) Umno pada pertengahan Jun 2010.

Semenjak pilihanraya 8 Mac yang menyaksikan BN kehilangan kuasa dua pertiga di Parlimen dan penguasaan terhadap negeri-negeri Perak, Selangor Kedah dan Pulau Pinang, Abdullah menerima tekanan daripada Umno dan parti-parti komponen BN.

Abdullah menerima tamparan hebat apabila SAPP meninggalkan BN. Kira-kira 60 peratus daripada ahli-ahli Gerakan juga mahukan parti tersebut meninggalkan BN.

Tekanan yang diberikan kepada perdana menteri bertambah hebat apabila Anwar Ibrahim berjaya memenangi pilihanraya kecil Permatang Pauh dengan majoriti yang lebih besar berbanding undi yang diraih oleh presiden PKR dalam pilihanraya umum lalu.

Walaupun Najib Razak yang bertanggungjawab sebagai pengarah pilihanraya kecil tersebut dan sering dilihat di Permatang Pauh untuk berkempen, kesalahan diletakkan di bahu Abdullah seratus peratus dan nama Najib langsung tidak dikaitkan.

Kekalahan BN dalam pilihanraya kecil itu telah memberikan suntikan kepada bekas naib presiden Umno, Muhyiddin Yassin untuk mendesak Abdullah berundur lebih awal daripada pelan peralihan kuasa 2010.

Mampukah Najib?

Najib kini disebut-sebut sebagai bakal pengganti Abdullah sebagai presiden Umno sekali gus perdana menteri keenam.

Akan tetapi ia masih belum pasti seperti yang dikatakan oleh Abdullah semalam kerana Najib masih perlu menang sebagai presiden Umno dalam pemilihan parti tersebut Mac depan.

Namun, mengenali Umno yang tidak demokratik dan sering menggunakan alasan perpaduan parti untuk tidak mempertandingkan jawatan tertinggi terutamanya presiden dan timbalannya, peluang Najib untuk menaiki takhta dilihat cerah.

Persolan yang harus difikirkan oleh Umno dan BN pada ketika ini ialah, mampukah anak perdana menteri kedua itu memikul tanggungjawab untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap BN?

Kepimpinan Abdullah yang diregukan bersama Najib dihukum oleh rakyat dalam pilihanraya umum lalu kerana gagal menunaikan janji-janji untuk melaksanakan reformasi terhadap sistem kehakiman, mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap polis, memerangi rasuah dan membuka ruang demokrasi.

BN menang besar dalam pilihanraya 2004 kerana rakyat mengharapkan Abdullah melaksanakan reformasi dalam pentadbiran kerajaan setelah hidup selama 22 tahun bawah pemerintahan autokratik Dr Mahathir Mohamad.

Setelah sepenggal pemerintahannya, Abdullah gagal melaksanakan reformasi, lantan rakyat menolak BN.

Jika pilihanraya umum tersebut berjalan secara telus, bebas dan adil, sudah pasti BN menjadi sejarah.

Era kuku besi dan 'momok Altantuya'

Ramai penganalisa politik menjangkakan bahawa Najib akan mengembalikan Malaysia ke era pemerintahan Dr Mahathir apabila hanya sedikit ruang kebebasan yang dapat dikecapi hari ini akan dirampas kembali.

Analisis begini timbul kerana Najib dilihat sebagai penyambung legasi pemerintahan Dr Mahathir yang pernah menyaksikan tragedi Memali, Operasi Lalang, skandal kewangan dan pembungkaman media arus perdana.

Ramai penganalisis percaya bahawa Dr Mahathir akan memainkan peranan penting dalam pentadbiran kerajaan sewaktu Najib menjadi perdana menteri.

Telah timbul juga cakap-cakap mengenai bekas perdana menteri itu akan dilantik menjadi penasihat kerajaan selepas Abdullah melepaskan jawatan secara rasminya pada Mac tahun hadapan.

Selain dilihat sebagai pemimpin yang bakal mengambil tindakan keras, najib juga dihantui kes pembunuhan Altantuya Shaariibuu dalam perjalanannya ke Seri Perdana.

Baik di peringkat kebangsaan mahupun di peringkat antarabangsa, persepsi tidak dapat diubah bahawa timbalan perdana menteri itu tercemar dengan imej pembunuhan kejam wanita Mongolia yang sekarang ini masih lagi dibicarakan dimahkamah.

Sumpah yang dilafazkan oleh Najib sewaktu kempen pilihanraya kecil di Permatang Pauh bahawa beliau tidak mengenali Altantuya dan tidak tahu-menahu mengenai kes pembunuhan kejam itu masih tidak dapat meyakinkan rakyat. Keputusan pilihanraya kecil Permatang Pauh itu boleh dijadikan sebagai bukti.

Ke mana reformasi Abdullah?

Antara perkara yang paling memeningkan kepala Abdullah menjelang saat-saat akhir pemerintahannya ialah, bagaimanakah rakyat Malaysia mengingatinya pada masa akan datang?

Tunku Abdul Rahman dikenang sebagai Bapa Kemerdekaan Negara. Abdul Razak pula adalah Bapa Pembangunan Malaysia. Hussein Onn dilihat sebagai Bapa Penyatuan Malaysia dan Dr Mahathir diingati sebagai Bapa Pemodenan Malaysia.

Apakah gelaran rakyat terhadap Abdullah? Buat masa ini masih belum ada gelaran yang sesuai selain bapa mertua Khairy Jamaluddin.

Sebab itulah Abdullah kini akan berusaha keras untuk melaksanakan Reformasi yang pernah dijanjikan olehnya sebelum meletak jawatan secara rasmi.

Tiga langkah akan dilaksanakan oleh beliau sebelum berundur:

bullet buttonMemperkukuhkan institusi negara dengan melibatkan penubuhan tiga buah suruhanjaya yang berkaitan pelantikan hakim, pencegahan rasuah dan agensi penguatkuasaan.

bullet buttonInisiatif kedua, memperkukuh dan memperluas jaringan keselamatan sosial kerana kekayaan dan hasil kemakmuran negara perlu diagihkan secara adil ke serata negara.

bullet buttonKerajaan dan BN memperbaharui komitmen mereka terhadap usaha mewujudkan sebuah negara yang bersatu dan harmoni.

Mampukah Abdullah melaksanakan perubahan yang besar tersebut dalam masa enam bulan?

Jika sepanjang tempoh empat tahun sejak 2004 perkara-perkara di atas gagal terlaksana, apakah tempoh enam bulan akan menyaksikan perubahan yang mendadak tersebut?

Mampukah Abdullah berhadapan dengan Umno yang jelas menolak reformasi beliau daripada dilaksanakan di Malaysia?