Rabu, 29 Oktober 2008

Taufiq Ingin SBY Seperti Mega, Tak Ragu Bertindak Atasi Krisis

Selasa, 14/10/2008 17:25 WIB

Taufiq Ingin SBY Seperti Mega, Tak Ragu Bertindak Atasi Krisis
Ronald Tanamas - detikNews


Jakarta - Politisi senior PDIP Taufiq Kiemas mempunyai saran tersendiri bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menghadapi krisis global. Pemerintah semestinya seperti Mega, cepat bertindak tanpa keraguan.

"Pemerintah harus cepat bertindak tanpa keraguan. Saya rasa zaman Ibu Megawati tidak ada keraguan dalam mengambil tindakan untuk kemajuan ekonomi," kata Taufiq Kiemas.

Menurut Taufiq, yang paling penting ekonomi harus jalan dahulu, mengenai hal lain nanti dipikirkan bersama. Karena jika ekonomi sudah tidak kuat maka politik ikut tidak kuat.

Lantas seperti apa penilaian yang diberikan terhadap kondisi ekonomi dan pemerintahan SBY- JK? Apa langkah kongkret yang dilakukan partai oposisi ini dalam menyikapi krisis ini? Siapa Capres dan Cawapres yang akan diusung oleh PDIP? Dan jawaban seperti apa yang diberikan PDIP terhadap tudingan Agus Condro yang mengatakan petinggi partai ini banyak tukang palak?

Berikut wawancara Ronald Tanamas dan Djoko Tjiptono dari detikcom dengan Ketua Dewan Pembina PDIP Taufiq Kiemas di rumahnya di jalan Teuku Umar Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2008).

Bagaimana anda menilai situasi ekonomi pada saat ini?

Kalau melihat keadaan ekonomi saat ini sebenarnya pernah terjadi pada 10 tahun lalu. Seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan hal ini dari jauh-jauh sebelumnya. Seandainya sudah disiapkan sejak tahun 2005 tentu kita tidak mengalami hal ini.

Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan pengusaha dengan membuat undang-undang yang melindungi pengusaha. Yang ada saat ini pemerintah hanya memanfaatkan pengusaha saja, itu bisa dibuktikan saat ekspor dan pajak yang dinaikkan pengusaha diminta untuk mematuhi namun tidak ada undang-undang yang melindungi pengusaha.

Saya menilai perekonomian kita saat ini tidak ada bedanya dengan pemerintahan kolonial. Artinya kita masih berkutat kepada membuat bahan mentah. Bisa dilihat dengan ekspor batubara, pada abad 20 ekspor batubara mencapai 1.000 ton sekarang juga ekspor batubara sebesar 1 juta ton, kondisi itu tidak berubah.

Jika pemerintah tidak melakukan perubahan cepat dengan masih berkutat kepada pembuatan bahan mentah bukan barang jadi, maka keadaan ekonomi kita ke depannya masih akan gonjang-ganjing seperti ini.

Kadang-kadang kita takut kalau membicarakan pengusaha borjuasi nasional. Karena menurut saya pengusaha borjuasi itu adalah pengusaha yang mempunyai pabrik. Sebab kalau tidak punya pabrik bukan borjuasi nasional namanya hanya pedagang biasa saja. Saya pernah tanyakan kepada mereka berapa barang yang masih diproduksi dari bahan mentah yang telah diubah menjadi bahan setengah jadi.

Sebagai salah satu petinggi dari partai oposisi bagaimana anda menilai
pemerintahan SBY-JK?

Kita sebagai partai oposisi juga menginginkan situasi ini bertambah baik. Karena kalau pemerintah tidak mengubah kebijakan maka krisis ini akan tetap berlangsung terus. Dan pemerintah pasti akan kebakaran jenggot. Kalau ada UU mengenai pengusaha maka kaum pengusaha akan bisa bertindak dengan jelas.

Umpamanya hari ini orang bisa mendepositokan uangnya sebesar Rp 100 juta, tiba-tiba besok ada perubahan harus mendepositokan Rp 1 miliar. Kalau ada UU-nya kan bisa jelas. Tidak dengan kebijakan-kebijakan.

Kemudian dengan saran APBN yang mencapai Rp 1.000 triliun, jika dibandingkan dengan
pemerintahan Megawati yang berkisar Rp 300 triliun kira-kira seperti apa relevansi
outputnya?

Kalau Rp 1.000 triliun itu saya kira sudah sangat luar biasa, seharusnya pemerintah bisa memperbaiki infrastruktur jalan dengan uang sebesar itu. Menurut saya untuk infrastruktur jalan di seluruh Jawa cukup menghabiskan uang sebesar Rp 2 miliar saja. Kalau infrastruktur jalan sudah benar tentu akan mempermudah rakyat kecil dalam berusaha.

Kemudian dengan uang Rp 1.000 triliun itu pemerintah tertatih-tatih dengan defisit 1 %, sehingga pemerintah harus mencari talangan untuk defisit tersebut dan otomatis kredibilitas pemerintah dipertanyakan dalam kancah dunia internasional, tanggapan anda sendiri?

Menurut saya pemerintah itu harus melakukan 2 hal yang penting, pertama dengan membuka lapangan pekerjaan dan memperbaiki infrastruktur jalan. Jika kedua hal tersebut sudah dijalankan maka kita tidak akan tertatih-tatih untuk menutupi defisit 1 % itu.

Apa langkah yang paling kongkret yang akan dilakukan oleh partai oposisi dalam
menyikapi krisis ini?

Kalau oposisi yang ada pada saat itu, kita akan memperbaiki infrasturktur dalam segala bidang, terutama dalam jalan dan pertanian. Karena bila infrastruktur sudah benar maka bisa mengumpulkan buruh atau pekerja yang banyak. Dari hitungan politiknya maka rakyat tidak menganggur, sedangkan dari hitungan ekonomi nanti ada sendiri caranya.

Sehubungan dengan statemen yang diberikan oleh salah satu petinggi negara ini, bahwa masalah itu hanya 1 % saja karena negara ini masih banyak masyarakat kelas menegahnya, bagaimana tanggapan anda?

Kalau 1 % saja itukan sudah mencapai 2,5 juta orang, dan ini cukup banyak buat saya. Kalau kata petinggi tersebut masyarakat menengah hanya 1 % saja maka perekonomian Indonesia susah berangkat untuk maju. Sedangkan yang perlu menjadi catatan masyarakat menengah kebawah adalah masyarakat yang mengerti ekonomi yang sebenarnya dari Indonesia.

Pemerintah harus cepat bertindak tanpa keraguan. Saya rasa zaman ibu Megawati tidak ada keraguan dalam mengambil tindakan untuk kemajuan ekonomi. Karena yang paling penting dalam ekonomi harus jalan dahulu mengenai hal lain nanti dipikirkan bersama. Karena jika ekonomi sudah tidak kuat maka politik bisa juga tidak kuat.

Maksudnya apa?

Pemerintah itu harus berani ambil tindakan dalam ekonomi untuk kepentingan rakyat banyak dengan tegas. Di sini bukan masalah oposisi atau tidak oposisi saja, saya kira untuk kepentingan kesejahteraan rakyat semua pihak akan setuju dan membantu. Karena kalau rakyat susah maka pemerintah bisa menjadi buruk di kacamata dunia internasional. Ini saya sarankan sebelum kenaikan harga-harga di pasar merambah ke rakyat.

Bagaimana dengan dana kampanye dari partai anda sendiri saat krisis seperti ini?

Saya kira sebaiknya kita membicarakan masalah ekonomi untuk kepentingan rakyat lebih penting. Sedangkan untuk dana kampanye untuk partai ini kita melakukannya secara gotong-royong.

Bagaimana dengan capres dan cawapres yang diusung oleh PDIP?

Untuk capresnya tentu kita sudah tahu semua siapa yang akan diusung oleh PDIP, sedangkan untuk cawapres kita masih belum menentukan, mungkin nanti setelah rakernas di bulan November mendatang baru dibicarakan kembali.

Apakah PDIP tidak khawatir akan terpotong suaranya jika Sultan maju menjadi capres?

Saya rasa kita tidak perlu khawatir, karena kita jalan sendiri-sendiri dan sama mempunyai massa.

Bagaimana anda menyikapi statement dari Agus Condro yang mengatakan para petinggi
dari PDIP adalah tukang palak?

Kita sampai saat ini masih membiarkan hukum yang berbicara, biarkan semua diproses secara hukum. Bila ada kader yang menerima uang tidak akan PDIP melindunginya. PDIP sangat menghormati dan patuh hukum seandainya saya yang disebutkan saya terima dan bersedia mengikuti proses hukum.

Bagaimana dengan konflik yang terjadi di kalangan elit PDIP sendiri?

Tidak ada konflik yang terjadi. Yang ada hanya perbedaan dan itu merupakan hal yang biasa dalam demokrasi
(ron/iy)

Puan Ajak Kader PDIP ‘Merahkan’ Partai Lain

Puan Ajak Kader PDIP ‘Merahkan’ Partai Lain

14/10/2008 09:43:24 SOLO (KR) - Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani, mengajak kader partai berlambang banteng gemuk dalam lingkaran ini memerahkan partai lain ataupun kelompok masyarakat di wilayah abu-abu. “Dalam perhelatan demokrasi tahun 2009 nanti, PDIP dikeroyok banyak partai baik yang berideologi sejenis dengan PDIP ataupun berideologi lain,” tegas puteri Ketua Umum DPP PDIP Megawati Sukarnoputri itu, saat acara Doa Bersama dan Tasyakuran Sukses Pemilihan Gubernur Jawa Tengah di Pagelaran Keraton Kasunanan Solo, Minggu (12/10).
Tanda-tanda partai lain untuk memikat kader PDIP, ujar Maharani, sudah mulai mengemuka. Setidaknya ini bisa dilihat adanya upaya memasukkan ideologi partai bersangkutan terhadap para kader PDIP, sehingga saatnya seluruh kader PDIP merapatkan barisan agar tetap solid menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009 nanti. Kemenangan PDIP dalam arena pemilihan gubernur Jawa Tengah, menurutnya, merupakan langkah awal memasuki Pemilu 2009, bukan sebaliknya justru kemenangan itu membuat kader partai menjadi terlena.
Pun dia menegaskan, kemenangan yang harus diraih pada pemilu 2009 nanti, bukan saja terbatas pada pemilu legislatif, tetapi juga pemilu presiden, sebab pada prinsipnya kemenangan pemilu akan pincang jika hanya diraih pada sisi pemilu legislatif. Pengalaman pemilu 2004 menjadi pengalaman sangat berharga dan tidak boleh terulang lagi dalam pemilu 2009 nanti.
Pada pemilu legislatif 2004, tambahnya, PDIP mampu memperoleh suara terbesar, tapi giliran pemilu presiden, Megawati yang dijagokan PDIP harus kalah dengan calon dari partai lain. Ini terjadi lantaran para calon anggota legislatif (caleg) PDIP setelah meraih kemenangan tak berbuat apapun untuk memasuki pemilu presiden, sehingga boleh dikata mesin partai macet total. Melihat persaingan dalam bursa kepemimpinan nasional begitu ketat, ujar caleg PDIP Daerah Pemilihan (Dapel) Jateng V itu, semua komponen partai harus bekerja keras.
Marhaen
Pun dia mengakui, pada pemilu 2004, PDIP nyaris melupakan akar kaum Marhaen yang selama ini menjadi urat nadi PDIP. Tapi dalam pemilu 2009 nanti, PDIP sudah berkomitmen penuh, memilih pemimpin, termasuk dalam penyusunan daftar caleg, mengedepankan asas perjuangan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan kepala daerah di seluruh Indonesia yang berasal dari PDIP, telah diamanatkan untuk segera menerapkan politik anggaran yang berpihak pada rakyat.
Asas kerakyatan ini tidak boleh diingkari, terlebih hal itu terkait erat dengan prinsip Marhaenisme yang dicetuskan Bung Karno. Pada saat-saat kondisi ekonomi yang menyulitkan rakyat akibat krisis global, kepentingan rakyat mesti dinomorsatukan. Rasanya ironis, ujar Puan Maharani, rakyat yang hidup di bumi berkelimpahan alam, tetapi tidak bisa hidup makmur. “Kondisi itulah yang dulu menginspirasikan Bung Karno melahirkan Marhaenisme,” ujarnya.
Di sisi lain Puan juga mengisyaratkan, tempat penyelenggaraan acara Doa Bersama Sukses Pilgub Jateng itu, juga mencatat sejarah tersendiri. Pasangan Bibit Waluyo dan Rustriningsih, awal kali dicetuskan sebagai cagub dan cawagub Jateng beberapa bulan lalu, berlokasi di pagelaran keraton Kasunanan Solo.
“Saat itu Ketua Umum DPP PDIP menegaskan pasangan Bibit dan Rustri harus menang, dan hasilnya memang seperti itu,” ujarnya seraya berharap sejarah itu berulang kembali pada pemilu 2009 nanti. (Hut)-k

PDI-P deklarasikan diri sebagai rumah perempuan

PDI-P deklarasikan diri sebagai rumah perempuan

Monday, 25 August 2008 13:57 WIB

JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendeklarasikan dirinya sebagai Rumah Perempuan hari ini, Senin (25/8)
di Kantor DPP PDI-P di kawasan Lenteng Agung Jakarta Selatan.

PDI-P sebagai Rumah Perempuan dideklarasikan langsung oleh Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri. Dalam acara yang dihadiri oleh kader-kader perempuan PDI-P, Ketua DPP PDI-P Bidang Pemberdayaan Perempuan, Puan Maharani, mengatakan deklarasi yang mengusung tema "Bangkit Kepemimpinan Perempuan Indonesia" bertujuan untuk membuka lebar-lebar pintu kepada kaum perempuan,yaitu perempuan yang memiliki jiwa dan semangat nasional.

"Melalui ini, kita mau membuka lebar-lebar pintu, memfasilitasi semua keinginan dan mendidik kader perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah politik yang sedang terbuka lebar di Indonesia," ujar Puan dalam sambutannya.

Ia melanjutkan, PDI-P melihat bahwa pada masa ini nasib perempuan makin termarginalkan dengan makin menguatnya kekerasan berbasis gender dan terbelenggu oleh sistem feodalisme. "Padahal sejarah politik bangsa tidak pernah lepas dari peran perempuan, seperti peran Kartini. Kita ingin melanjutkan perjuangan para pejuang perempuan melalui politik dan sosial budaya
melalui kepartaian," tandas putri Megawati ini.

Hal ini juga diakui oleh Megawati bahwa nasib perempuan masih menjadi kendala di PDI-P meski di dalam konstitusi telah diatur bahwa semua lelaki dan perempuan dalam keadaaan yang sama. "Tapi realitanya di masyarakat itu sendiri karena sosial budaya temasuk agama, apa yang dijabarkan dalam konstitusi belum dapat dimaksimalkan," ujar Megawati dalam sambutannya.

Dia menyatakan, dirinya sangat tidak setuju dengan pendapat bahwa perempuan tidak layak untuk maju menjadi pemimpin. Dalam kehidupan sehari-hari pun kerap dijumpai kenyataan perlakuan diskriminatif dalam keluarga terhadap istri atau terhadap anak perempuan. "Namun, jangan sampai dari perempuannya sendiri tidak mau maju," tegas Megawati.

Deklarasi ini akan dilanjutkan dengan Pembekalan Kader Perempuan PDI-P dan pembentukan Posko Ibu dan Anak. Pembekalan Kader Perempuan dilaksanakan selama dua hari 25-26 Agustus 2008 di Hotel Bumi Wiyata Depok. Melalui pembekalan ini, Puan mengharapkan muncul kader-kader perempuan PDI-P yang militan. "Sehingga bisa diteruskan ke daerah. Kita tidak hanya perlu massa (untuk menang dalam Pemilu), tapi supaya massa juga percaya bahwa kader-kader kita unggul," ujar Puan.

Pembantu Rentan Alami "TRAFFICKING"


Jumat, 25 Mei 2007

Tenaga Kerja
Pembantu Rentan Alami "TRAFFICKING"

YOGYAKARTA, KOMPAS - Tanpa adanya perjanjian kerja yang jelas, para pembantu rumah tangga akan semakin rentan mengalami trafficking. Belajar dari banyaknya kasus yang antara lain tampak dalam kekerasan yang dialami PRT domestik maupun tenaga kerja Indonesia di luar negeri, pemerintah pun harus lebih serius menangani permasalahan ini.

Ketua Badan Pelaksana Rumpun Tjoet Njak Dien, lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi PRT, Yuni Satia Rahayu mengemukakan selama ini pemahaman umum mengenai trafficking masih terbatas pada perdagangan manusia.

"Padahal, kalau seseorang ditawari pekerjaan dan di dalamnya ada unsur penipuan, itu sudah dikategorikan sebagai trafficking," kata Yuni, Kamis (24/5).

Termasuk juga di dalamnya apabila ada unsur pemaksaan, seperti pemaksaan kerja anak untuk melunasi utang orangtua. Tanpa adanya perjanjian kerja, PRT akan semakin rentan mengalami trafficking karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan para majikan. Akibatnya, mereka makin berisiko mengalami kasus-kasus kekerasan, pelecehan seksual, gaji tak terbayar, atau jam kerja tak terbatas.

Selain itu, Yuni juga mencatat bahwa sudah banyak orang yang ditawari bekerja sebagai PRT di suatu daerah, tetapi pada akhirnya dibawa ke daerah lain dan harus mengalami kerja paksa, serta beragam bentuk kekerasan. "Akibat yang paling fatal jelas kematian," ucapnya.

Untuk mencegah hal itu, Yuni menekankan pentingnya sosialisasi isu trafficking pada masyarakat luas. "Tantangan yang dihadapi saat ini belum semua PRT memahami tentang trafficking. Mereka juga belum punya cukup keberanian untuk melaporkan ketidakadilan yang diterima dari majikannya, apalagi jika tidak memiliki perjanjian kerja," ujarnya.

Karena itu, sosialisasi mengenai hak-hak pekerja dan isu trafficking perlu terus dilakukan, baik pada wilayah asal PRT seperti di Gunung Kidul, maupun pada wilayah kerja PRT yang banyak ada di Yogyakarta. Penanganan berbasis komunitas pun perlu terus digalakkan sehingga warga dapat segera melaporkan jika ada yang mengalami trafficking.

Yuni menegaskan, pemerintah juga harus lebih serius menangani masalah ini. Selain melalui sosialisasi pada semua lapisan aparat, pemerintah juga harus membenahi sistem pendampingan para TKI yang bekerja di luar negeri. "Mereka jangan dilepas begitu saja sesampainya di luar negeri. Sosialisasi dan pendataan harus dibenahi," katanya. (AB3)

Caleg Aktivis dan Pragmatisme Politik

Sabtu, 11 Oktober 2008 | 11:30 WIB

Caleg Aktivis dan Pragmatisme Politik

Oleh Bambang Isti Nugroho

Menjelang Pemilu 2009 terjadi perubahan pola pikir dan strategi sebagian kaum aktivis negeri ini. Sebelumnya, mereka lebih memilih posisi di luar mekanisme sistem politik kekuasaan, dengan memberikan tekanan terhadap pemerintah. Kini, mereka pun mulai melirik kursi wakil rakyat, baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi, semudah itukah?

Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan diibaratkan macan: buas, ganas, dan selalu siap menerkam korban. Namun, macan selalu menarik dan menggairahkan karena ia menjanjikan kamulyaning urip dan panguripan bebrayan (hidup mulia dan sejahtera) kepada para pemburunya.

Pemilu 2009 bisa kita sebut sebagai pesta geger wong ngoyak macan (gegap gempita orang berburu macan), sebuah istilah yang saya pinjam dari judul lakon Teater Dinasti Yogyakarta yang digelar sekitar tahun 1980. Persoalannya, apakah para aktivis tersebut nanti jika lolos menjadi caleg siap bertarung dalam geger wong ngoyak macan? Atau jangan-jangan, mereka hanyalah akan menambah jumlah para petualang dan pemburu kekuasaan di negeri ini?

Itulah pertanyaan yang rada mencemaskan dalam episode seru ini, tetapi sebaiknya kita simpan dulu di laci ingatan. Marilah kita berpikir positif dalam membaca motivasi mereka menjadi calon legislatif (caleg). Yakni, mereka ingin melakukan perubahan politik- kekuasaan di Indonesia. Siapa saja mereka? Sebut saja, antara lain Dita Indah Sari, tokoh penggerak buruh (caleg PBR); Puis Lustrilanang, korban penculikan di era Soeharto (caleg Gerindra, partainya Prabowo Subiyanto); Budiman Sujatmiko, mantan tokoh PRD dan korban Kasus 27 Juli (caleg PDI-P), dan tokoh aktivis gerakan di Yogya Mohammad Yamin (caleg PDI-P). Mereka akan bertarung di tingkat DPR.

Para aktivis dari Yogyakarta pun tak ketinggalan untuk menjadi caleg di tingkat DPRD, misalnya, Aji Kusuma (caleg PDK), Yuni Satya Rahayu (PDI-P), Supriyanto (PDI-P), M Afrizal Rais (PDK).

Mati suri

Para aktivis lahir dari rahim dinamika sosial-politik. Mereka umumnya orang muda, mahasiswa atau mantan mahasiswa, dan menggunakan kegiatan politik-pada mulanya-bukan demi kekuasaan, melainkan lebih pada gerakan moral. Citra yang terbangun dalam sosok aktivis adalah idealis, kritis, punya komitmen atas nilai-nilai kemanusiaan dan kerakyatan, berani menanggung risiko perjuangan, tidak memiliki kepentingan pribadi, bersih, jujur, dan bercita-cita melakukan perubahan.

Para aktivis (gerakan mahasiswa) telah membuktikan dirinya dalam penumbangan rezim Orde Baru Soeharto (reformasi 1998). Namun, setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun, hasilnya sangat mengecewakan. Rezim demi rezim berganti-ganti, tetapi nasib rakyat tetap saja terpuruk. Reformasi yang digadang-gadang melahirkan perubahan sosial-politik, ekonomi, dan budaya terbukti "mati suri".

"Kesalahan sejarah" kaum aktivis waktu itu adalah menyerahkan kekuasaan kepada para elite politik yang kurang memiliki keberanian melakukan perubahan secara mendasar. Reformasi akhirnya hanya menjadi casing, sedangkan software-nya tetap saja sama: politik pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan, hal itu diperparah dengan liberalisasi ekonomi, di mana sosok negara Indonesia makin kabur, sedangkan pasar bebas semakin menguat.

Akhirnya, para penyelenggara negara nyaris tidak berbeda dengan "panitia pasar bebas" yang mementingkan modal

asing. Hasilnya biaya hidup sangat tinggi dan mahal: rakyat antre minyak dan sembako, rakyat kurang gizi, rakyat tidak menikmati pendidikan, kesehatan, perumahan secara maksimal, pengangguran menggelembung, dan jumlah orang miskin terus bertambah.

Faktor lain yang membuat reformasi "mati suri" adalah ketidaksiapan para aktivis mengelola kekuasaan. Sebagian besar aktivis masih berpikir bahwa posisi, peran, dan fungsi aktivis adalah sebagai pengontrol kekuasaan. Ternyata hal ini tidak cukup. Pragmatisme politik

Jika para aktivis lolos menjadi caleg, berbagai persoalan besar di atas otomatis teratasi? Tentu, kita tidak bisa berharap 100 persen para aktivis yang masuk parlemen mampu mengatasi persoalan besar. Parlemen berisi ratusan kepala dengan 1.001 kepentingan. Keberadaan aktivis di sana tak lebih dari noktah di tengah lautan kepentingan yang tidak semuanya berpihak kepada rakyat.

Persoalan yang sangat sulit diatasi dalam perjuangan di parlemen, antara lain adalah pragmatisme politik. Terminologi ini mengisyaratkan sebuah pengertian bahwa politik telah direduksi menjadi kegiatan praktis untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek. Politik telah dibedol dari ranah idealisme, di mana seharusnya politik mengemban amanat memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat.

Ketika idealisme dan ideologi menguap, maka politik tidak ubahnya dengan mesin kekuasaan yang hanya menjadi alat dari faktor yang mendominasi, yang untuk sekarang adalah ekonomi. Maka, uang menjadi nilai tukar paling signifikan dan determinan dalam politik. Kenyataan ini kini semakin menguat: caleg tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan dirinya, melainkan juga harus punya pundi- pundi fulus tebal. Begitu juga dengan produk-produk legislasi lainnya yang juga didikte dengan kekuatan uang. Kesimpulan pun muncul: negara ini sedang disandera kelompok pemodal yang sangat bersemangat dalam melakukan berbagai kapitalisasi di segala hal.

Wajah rakyat? Semakin kabur. Suara rakyat? Semakin sayup. Maka, dengan (akan) masuknya para aktivis di parlemen, sesungguhnya rakyat belum bisa berharap banyak. Mereka harus membuktikan kemampuannya untuk diuji dalam lembaga "karatan" yang bernama parlemen. Diuji juga oleh kebuasan dan keganasan sang macan kekuasaan yang dikendalikan kapitalisme global.

Atau minimal mereka mampu menjadi semacam "gangguan" agar para penghuni parlemen tidak terlampau asyik dengan kepentingan sendiri yang terbukti punya andil menambah dosis penderitaan rakyat. Kita masih percaya, para aktivis itu punya tiga "kesaktian": integritas, komitmen, dan kemampuan untuk menjadikan DPR/DPRD bukan sebagai lembaga perniagaan politik, melainkan menjadi pembela kepentingan publik.

Bambang Isti Nugroho Mantan Aktivis, Pendiri Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta, dan Kini Memimpin Komunitas Politik Guntur 49 Jakarta