Jumat, 28 November 2008

Makin Banyak Nelayan Beralih Tangkap Lobster

Perikanan
Makin Banyak Nelayan Beralih Tangkap Lobster
Jumat, 28 November 2008 | 11:10 WIB

Gunung Kidul, Kompas - Seiring datangnya puncak musim panen lobster, nelayan di sepanjang pantai Gunung Kidul beralih mencari lobster. Selain menebar jaring di perairan dekat tebing karang, sebagian nelayan memasang krendet dari lingkaran besi yang diletakkan semalaman di tepi tebing. Panenan lobster tahun ini cukup melimpah dibandingkan dengan tahun lalu.

Nelayan yang mencari lobster juga semakin banyak karena harga cukup tinggi. Seluruh nelayan dengan kapal berkekuatan 15 PK dan 20 PK di Pelabuhan Sadeng, misalnya, telah beralih mencari lobster. Demikian pula di Pantai Baron dan Pantai Drini. "Tangkapan kami tidak sebanyak tahun lalu karena pencari lobsternya lebih banyak," kata nelayan Sadeng, Wagiman, Kamis (27/11).

Melaut tiga hingga lima jam dengan kapal 15 PK, Wagiman memperoleh 3 kilogram lobster. Sementara nelayan dengan kapal 20 PK bisa menangkap hingga 7 kilogram lobster dari tahun lalu bisa maksimal 15 kilogram lobster. Biaya produksi untuk pembelian bahan bakar sekali melaut sebesar Rp 50.000.

Pencari lobster dengan menggunakan krendet, Juhari, mengeluh rendahnya panenan lobster tahun ini akibat banyaknya pencari lobster. Jika tahun lalu bisa memperoleh hingga 5 ons lobster per hari, kini ia hanya mendapat 2 ons. Tiap hari, Juhari memasang 10 buah krendet di tebing-tebing Pantai Sadeng.

Jenis lobster yang diperoleh cukup beragam mulai dari lobster mutiara, hijau, kipas, dan batu. Panenan lobster tersebut telah berlangsung sejak satu bulan terakhir. Limpahan panenan lobster menyebabkan pedagang bisa memasok lobster setiap dua hari sekali dibandingkan tahun lalu yang maksimal tiga hari sekali.

Lobster biasanya dipasok ke Jakarta dalam keadaan hidup. Lobster yang telah mati tetap laku, tetapi dijual separo harga dari lobster hidup. Lobster berukuran 3-6 ons untuk jenis mutiara laku dijual Rp 435.000, lobster batu seharga Rp 130.000, dan lobster pasir Rp 240.000 per kilogram.

Pesawat kargo

Beberapa pedagang lobster juga mulai bermunculan dengan membuat kolam penampungan di sekitar pemondokan nelayan. Pedagang lobster, Aan, mengaku bisa memasok 80 kilogram hingga 1 kuintal lobster setiap dua hari sekali. Pengiriman lobster ke Jakarta tersebut dilakukan dengan menggunakan pesawat kargo.

Jika nelayan kapal kecil mulai menikmati keuntungan panenan lobster, nelayan kapal berbobot mati 50 ton di Pelabuhan Sadeng justru tidak bisa melaut akibat bertiupnya angin barat. Nelayan bernama Kodrat memperkirakan, nelayan tidak akan bisa melaut untuk mencari ikan tuna hingga 15 hari ke depan. (WKM)

Sundak Jadi Contoh

Sundak Jadi Contoh
Desa di Kawasan Wisata Harus Ada Listriknya
Jumat, 28 November 2008 | 11:07 WIB

Kidul, Kompas - Potensi bahari yang dimiliki Gunung Kidul dengan 19 pantainya harus menjadi kekuatan untuk mengentaskan kabupaten tersebut dari ketertinggalan. Pantai Sundak bisa dijadikan proyek percontohan pengembangan pariwisata yang mampu meningkatkan masyarakat sekitar.

Pemunculan potensi Pantai Sundak memang baru sejumput dilakukan, yakni tahun 2003 lalu, ketika ada investor membeli lahan dan mendirikan resor. Pembangunan Watu Lawang Resort, nama resor itu, hanya mengubah sedikit morfologi bebatuan pantai.

"Pemkab dan masyarakat ikut dilibatkan. Sebagian karyawan resor juga warga setempat dan itu membantu perekonomian masyarakat," ujar Birowo Adie, Kepala Bidang Pengembangan Produk Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Gunung Kidul, Kamis (27/11).

Hal itu disampaikannya di sela-sela tur pariwisata yang diadakan Badan Pariwisata Daerah (Baparda) DIY dan Pemkab Gunung Kidul. Tur yang diikuti pelaku pariwisata ini mengunjungi Bukit Nglanggeran, Desa Wisata Bobung, Pantai Kukup, dan Sundak.

"Semua pantai tidak dikonsep persis seperti Pantai Sundak mengingat keunikan tiap pantai berbeda. Yang hendak kami lakukan hanya mengadopsi pengembangan pariwisata di Sundak yang melibatkan peran warga dan pembangunannya ramah lingkungan," ucap Birowo. Rugi

Birowo menuturkan Pemkab Gunung Kidul sudah membuat sebagian rencana tata ruang tiap pantai sebagai kesiapan menyambut investor. "Ketika investor hendak masuk, sudah ada tata ruangnya. Bagi investor asing, tata ruang wilayah harus ada," katanya.

Watu Lawang, resor milik investor lokal ini, mempunyai sekitar 50 karyawan, 12 di antaranya adalah warga setempat. Kepala Operasional Watu Lawang Resort Heri Tri Wibowo menjelaskan dalam sebulan resornya menerima 5-6 tamu (keluarga) untuk bermalam.

Hanya saja, wisata bahari Gunung Kidul yang indah tidak diimbangi pemenuhan fasilitas listrik. Sumarno, Ketua Kelompok Pelestari Lingkungan di Sundak, mengatakan tiga desa di pesisir Sundak dan Krakal, yakni Desa Ngestiharjo, Sidoarjo, dan Tepus, masih gelap. Listrik belum menyentuh 130-an rumah di sana.

"PLN (perusahaan penyedia listrik) mengatakan rugi kalau memasang listrik kemari. Ini harus dicari solusinya," ucapnya. (PRA)

Presidensial Cita Rasa Parlementer

Presidensial Cita Rasa Parlementer
Jumat, 28 November 2008 | 01:03 WIB

Syamsuddin Haris

Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?

Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.

Perangkap konflik

Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.

Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan ”gangguan DPR” meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?

DPR ”heavy”

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).

Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partai-partai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu.

Ada beberapa solusi lain.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi.

Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR.

Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari.

Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.

Cita rasa parlementer

Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung ”sarat DPR”, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik?

Jika tidak, desain presidensial dengan ”cita rasa” parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabil—karena tersedia mekanisme konsultasi—tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif.

Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang.

Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Majikan Bunuh Pembantu Diancam 20 Tahun

pengadilan
Majikan Bunuh Pembantu Diancam 20 Tahun
Jumat, 28 November 2008 | 01:28 WIB

Jakarta, Kompas - Renata Tan (49) yang menganiaya Lina, pembantunya, hingga tewas dituntut jaksa penuntut umum dengan ancaman 20 tahun penjara. Tuntutan itu disampaikan jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (27/11) siang.

Jaksa Subarno mengatakan, Renata Tan melanggar Pasal 338 KUHP dan subsider Pasal 351 Ayat 3 karena menganiaya seseorang hingga mengakibatkan kematian. ”Perbuatan tersebut termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terdakwa diancam hukuman penjara 20 tahun,” kata Subarno seusai sidang. Terdakwa Renata Tan menunduk saat JPU membacakan dakwaan.

Renata tidak didampingi penasihat hukum dalam persidangan. Penasihat hukum yang datang diminta duduk di kursi pengunjung karena belum memiliki surat kuasa dari terdakwa Renata Tan.

Dalam sidang perdana yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jhoni P Panjaitan, acara diisi pembacaan dakwaan. Persidangan yang berlangsung di ruang utama PN Jakbar, ruang Garuda, tidak dipenuhi pengunjung.

Beberapa kerabat yang diduga putra Renata Tan terlihat hadir dan sesekali bercanda di bagian belakang ruang sidang. Suami Renata Tan, seorang dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit terkenal di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, tidak terlihat menghadiri sidang.

Menurut Subarno yang ditemui wartawan seusai sidang, Renata memang diketahui pernah melakukan perbuatan serupa. ”Tetapi, saya tidak bilang berapa kali tepatnya,” ujarnya.

Selain penganiayaan yang menewaskan Lina, Renata ketika itu juga menganiaya pembantu lain di rumahnya di kawasan Kedoya, Jakarta Barat.

Sebelum kasus yang menimpa Lina, Renata Tan pernah dua kali menganiaya dua pembantu hingga meninggal dunia dalam peristiwa tahun 1992 dan 1996. Penganiayaan yang dilakukan bulan Agustus 1992 menimpa pembantu bernama Atun. (ONG)

Kamis, 27 November 2008

PDI-P Usung Jargon "Perjuangkan Sembako Murah"

PDI-P Usung Jargon "Perjuangkan Sembako Murah"


KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga berdesakan untuk mendapatkan paket sembako dan singkong gratis dari sebuah organisasi kemasyarakatan di bekas Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, Minggu (11/3/07).

JAKARTA, KAMIS — Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan resmi meluncurkan jargon politik menghadapi pertarungan Pemilu 2009. Jargon politik yang dipakai adalah "Perjuangkan Sembako Murah".

Sekjen DPP PDI-P Pramono Anung dalam jumpa pers di Mega Institute, Kamis (27/11), menjelaskan, jargon yang diambil dalam menghadapi Pemilu mendatang berdasarkan kegagalan pemerintah membuat rakyatnya mampu membeli sembako secara murah.

"Secara resmi, hari ini PDI Perjuangan me-launching dan memulai kampanye dengan isu perjuangkan sembako murah. Kami menyayangkan pemerintah saat ini gagal membuat harga sembako lebih terjangkau. Dari data 2004-2008, kenaikkan harga sembako melampaui daya beli masyarakat," kata Pramono.

Pramono menjelaskan, komoditas pangan atau sembako berkontribusi besar dalam menyumbang inflasi sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat tergerus. Situasi inilah, kata Pramono, menjadi perhatian serius, mengingat 60 persen lebih penduduk Indonesia pengeluarannya masih terfokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok.


Rachmat Hidayat

Minggu, 23 November 2008

Wakil PM Najib Terpilih Memimpin UMNO

Wakil PM Najib Terpilih Memimpin UMNO


Perdana Menteri Malaysia yang juga Presiden Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Abdullah Ahmad Badawi (kanan) bersama deputinya, Najib Razak, di Kuala Lumpur, Minggu (6/4). Badawi memastikan Najib Razak sebagai penggantinya.
Selasa, 4 November 2008 | 05:51 WIB

KUALA LUMPUR, SELASA - Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Razak terpilih menduduki posisi kepemimpinan partai berkuasa, yakni Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau UMNO. Kantor berita Bernama, Senin (3/11), menyatakan, kini Najib berpeluang terpilih menjadi PM saat kongres partai nasional dan pemilihan PM yang digelar pada 24-28 Maret 2009.

Dalam pemilihan pemimpin di UMNO, Najib mendapatkan nominasi mayoritas 191 divisi UMNO secara nasional. Sampai saat ini ia memperoleh 140 divisi dan makin sulit terkejar. Satu-satunya lawan Najib adalah mantan Menteri Keuangan Tengku Razaleigh Hamzah yang hanya menerima satu divisi. Setiap kandidat harus mengumpulkan sedikitnya 58 divisi untuk bisa menjadi presiden atau pemimpin UMNO.

Sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1957, PM Malaysia selalu berasal dari pemimpin UMNO yang menjadi mayoritas pada koalisi 13 partai yang multietnis, Barusan Nasional (BN). Jika terpilih menjadi PM, Najib menggantikan posisi PM Abdullah Ahmad Badawi yang dipaksa mengundurkan diri setelah ”kegagalan BN dan UMNO” pada pemilu.

Para pengamat politik menilai sejak awal sudah yakin Najib yang menggantikan Badawi. Apalagi tidak ada kandidat lain yang lebih kuat dan dianggap mampu menyaingi Najib. Terlebih setelah Badawi "mengumumkan" Najib sebagai calon pengganti Badawi.

"Ia mendapat dukungan yang kuat karena tidak ada calon lain yang tepat di UMNO. Tak ada juga yang berani menominasikan kandidat lain, terutama sejak Badawi menunjuk Najib," kata Mohammad Agus Yusoff dari National University of Malaysia.

Tugas berat

Meski akan "menang mudah", Agus memperkirakan Najib akan menghadapi masa-masa sulit, terutama masalah krisis ekonomi. "Mau tidak mau ia harus minta bantuan," ujarnya.

Kini yang terpenting, menurut Ibrahim Suffian di Pusat Penelitian Merdeka, adalah menunggu kinerja Najib. Apakah ia akan bisa mewujudkan reformasi dalam segala bidang seperti yang pernah dijanjikan Badawi. "Banyak yang menduga ia hanya mengutamakan kepentingan UMNO," ujarnya. (REUTERS/AFP/LUK)

Najib Razak, Sang Akuntan Politik

Najib Razak, Sang Akuntan Politik

Mohd Najib bin Tun Abdul Razak
Senin, 24 November 2008 | 05:00 WIB

TRIAS KUNCAHYONO

”Saya bukanlah perokok berat. Ini saya lakukan saat menerima tamu saja. Itu pun di rumah,” kata Najib Razak mengawali cerita perjalanan hidupnya, sambil sesekali mengisap cerutu. Malam itu, orang kedua Malaysia ini tampil dengan baju merah marun lengan panjang, celana warna krem, tanpa sepatu.

Umur saya baru 22 tahun lebih sembilan bulan, ketika pertama terjun ke dunia politik,” kata Najib Razak.

Inilah jalur kehidupan yang tak dikehendaki keluarganya. Padahal, sang ayah, Tunku Abdul Razak, adalah perdana menteri kedua Malaysia. Namun, ia juga tak menginginkan anak lelaki pertama dari lima bersaudara itu menerjuni dunia politik.

”Saya berkeyakinan, politik adalah aktivitas sosial yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Lewat politik kita memperjuangkan nasib rakyat,” katanya.

Orangtua mengharapkan Najib menjadi akuntan. Oleh karena itu, ia sekolah di Universitas Nottingham, Inggris, pada jurusan ekonomi. Sekembalinya ke Malaysia tahun 1974, ia bekerja di Central Bank, lalu bergabung dengan Petronas (Petroliam Nasional Berhad), perusahaan minyak dan gas Malaysia yang didirikan pada 1974. Saat Najib bergabung dengan Petronas, perusahaan milik negara itu dipimpin Tengku Razaleigh Hamzah, yang kemudian menjadi salah satu mentor politiknya.

Walaupun Razaleigh Hamzah mentor politiknya, saat Razaleigh terlibat pertarungan politik dengan Mahathir Mohammad, Najib mengambil sikap tegas yang menunjukkan kematangan berpolitiknya. ”Saya tetap setia pada pemimpin saat itu, Dr M,” kata Najib dalam buku Najib Razak, In His Own Right, 2006, karya Chamil Wariya.

Kesetiaan adalah unsur penting dalam berpolitik. Kesetiaan menjadi dasar lahirnya kepercayaan. Sekali aktor politik menunjukkan isyarat bisa dipercaya, kepercayaan rakyat pada politik menguat. Hal itu akan terungkap dalam partisipasi rakyat pada pemilu. ”Kepercayaan rakyat, itulah yang terus saya bangun,” kata kakek satu cucu ini.

Karisma ayah

Jalan hidup Najib berubah setelah ayahnya meninggal tahun 1976 di London. Ia diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat sebagai kandidat dari UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) mewakili daerah pemilihan Pekan, yang kosong sepeninggal ayahnya. Ia anggota parlemen termuda.

Mulailah tangga ke panggung politik tersedia baginya. ”Saya tak memungkiri, berkat perjuangan dan karisma almarhum Ayah, karier politik saya maju. Tapi, itu saja tak cukup. Saya juga berjuang sendiri sehingga sampai seperti sekarang,” kata pria yang rajin bermain golf ini. Dulu Najib senang bermain sepak bola, tetapi setelah lututnya cedera ia tak lagi main sepak bola.

Kendati pamannya saat itu menjadi perdana menteri (Hussein Onn), ia tak serta-merta ditarik masuk kabinet. Ia mengawali karier politik dari bawah. ”Melayani rakyat adalah jalan paling baik untuk mengubah perikehidupan rakyat menjadi lebih baik,” katanya.

Ia kemudian dipilih menjadi Ketua Pemuda UMNO Cabang Pekan, juga menjadi anggota Dewan Eksekutif Pemuda UMNO (1976). Pada 1981, Najib dipilih menjadi anggota Dewan Tertinggi UMNO, sebelum memenangi pertarungan memperebutkan jabatan Wakil Presiden Pemuda UMNO (1982). Lima tahun kemudian (1987) ia diangkat menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO menggantikan Anwar Ibrahim yang bertarung memperebutkan jabatan Wakil Presiden UMNO. Jabatan Presiden Pemuda UMNO jatuh kepadanya tahun 1988.

Ketika menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO itu, ia hampir ditangkap dan dipenjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional (Internal Security Act/ISA) karena menggalang demonstrasi yang diikuti tak kurang dari 2.000 orang. Demonstrasi digelar menjawab gerakan elemen-elemen yang meragukan dominasi Melayu.

Ia mengakui, hingga kini masalah Melayu dan non-Melayu masih belum tuntas sepenuhnya. Orang Melayu ingin mempertahankan dominasi, sebaliknya yang non-Melayu menginginkan persamaan hak dan meritokrasi. Kata Najib, pemerintah terus berupaya menyelesaikan masalah ini. Bahkan di bidang ekonomi, pemerintah berencana mengurangi aturan tentang kepemilikan yang melandasi kebijakan ekonomi proetnis Melayu.

Pilihan rakyat

Tahun 1993, saat Anwar Ibrahim memutuskan untuk bertarung memperebutkan jabatan Deputi Presiden UMNO, Najib dipilih untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Anwar: Wakil Presiden UMNO. Jabatan itu dipertahankan dalam tiga pemilu (1993, 1996, dan 2000).

Perjalanan kariernya memperlihatkan Najib tak sekadar menjalani hidup seperti disebut sang pujangga, vita umbratilis, ”hidup dalam bayang-bayang” ayahnya yang mewariskan sikap tanggung jawab, dedikasi, dan rasa memiliki.

Pada usia 25 tahun, Najib masuk kabinet. Inilah jabatan pertama di kabinet yang dipercayakan kepadanya, sebagai Deputi Menteri Energi, Telekomunikasi, dan Pos (1978). Sekali lagi, ia menjadi orang termuda dalam jabatan politik. Lalu, ia menjadi Deputi Menteri Pendidikan, Deputi Menteri Keuangan, serta Menteri Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Kemudian, ia menjadi Menteri Pendidikan, Menteri Pertahanan, dan sejak September lalu menjadi Menteri Keuangan.

”Ketika diangkat menjadi menteri pendidikan, saya merasa dipercaya menyiapkan generasi muda untuk masa depan Malaysia,” kata Najib yang senang membaca buku biografi para tokoh dunia dan tentang kemiliteran ini.

Kini, ia disiapkan oleh PM Abdullah Badawi sebagai penerusnya. ”Saya senantiasa mengingatkan pada diri sendiri, saya adalah nomor dua, nomor satunya Datuk Seri Abdullah,” katanya, sambil mengingatkan bahwa tak semua deputi perdana menteri pada akhirnya menjadi perdana menteri.

”Seorang pemimpin harus menyiapkan kader, pengganti. Seorang pemimpin juga harus mampu menyejahterakan rakyat karena ia dipilih rakyat dan dapat memberikan keuntungan politik bagi pemerintahnya. Bila hal itu tak terlaksana, dapat dikatakan gagallah pemimpin itu,” katanya.

”Seorang pemimpin baru dapat dikatakan berhasil bila dipilih lagi oleh rakyat dalam pemilu,” tambahnya.

Namun, Najib mengingatkan, jabatan politik jangan diraih lewat politik uang. ”Politik uang adalah kanker, karena itu harus diberantas. Seorang politisi yang menggunakan politik uang itu hanya menunjukkan dia tidak memiliki kompetensi, kapabilitas, dan tidak percaya diri,” tegasnya.

Menurut dia, seorang pemimpin tak perlu terlalu lama menjabat, tetapi juga jangan terlalu pendek agar programnya bisa berjalan.

”Ia dapat terus menjabat selama masih efektif dan diterima rakyat. Terlalu lama ia menjabat akan menghambat perubahan. Kekuasaan harus selalu dibagi, dilingkupi dengan batas, dan diperbarui dengan pemilu,” katanya.

Selain itu, pertanggungjawaban kepada rakyat juga penting karena ia bukan diktator. Namun, menjadi pemimpin karena dipilih rakyat.

Sabtu, 22 November 2008

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

SUWARDIMAN

Geopolitik pada Pemilu 2009, bisa jadi, sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pergeseran penguasaan wilayah kemungkinan akan banyak diwarnai oleh tumbuhnya kepercayaan diri partai pascapemilihan kepala daerah. Karena itu, laju pergeseran dominasi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mungkin tidak semulus dulu.

Setelah kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, dominasi kekuatan politik tetap dipegang oleh dua kekuatan partai lama, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar berjaya di luar Jawa dan PDI-P di Pulau Jawa. Selama dua pemilu terakhir, peta kekuatan terus berubah.

Pertarungan politik pada Pemilu 1999 yang melibatkan 48 parpol dimenangi oleh PDI-P yang merebut 33,74 persen suara, mengalahkan Partai Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara. PDI-P berhasil menang di 166 kabupaten/kota, sementara Golkar hanya mampu menguasai 114 wilayah.

Satu periode sesudahnya, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik secara nasional. Sebanyak 271 kabupaten/kota dikuasai partai berlambang beringin itu dengan total suara 21,57 persen, sedangkan PDI-P hanya mampu menguasai 89 kabupaten/kota dengan perolehan 18,53 persen suara. Partai ini juga hanya mampu mempertahankan 72 kantong massanya, dan kehilangan 22 lainnya. Meski PDI-P mampu membentuk kantong massa baru di 18 kabupaten/kota, parpol itu gagal mempertahankan Megawati Soekarnoputri untuk tetap duduk di kursi nomor satu negeri ini.

Jawa-Bali

Penyusutan kekuatan PDI-P pada Pemilu 2004 membuat partai politik ini cuma mampu menguasai 55 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Padahal, kantong massa yang paling kuat bagi PDI-P pada Pemilu 1999 adalah wilayah Jawa dan Bali, dengan penguasaan 142 kabupaten/kota.

Ini berarti, penguasaan wilayah Jawa dan Bali oleh PDI-P turun drastis dari 86,6 persen menjadi 44,4 persen. Sebaliknya, Partai Golkar, yang pada tahun 1999 hanya mampu memenangi empat kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, berhasil mengusai 31 daerah pada Pemilu 2004.

Menurunnya penguasaan wilayah oleh PDI-P di kawasan Jawa dan Bali menguntungkan bagi sejumlah partai berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKB meningkatkan dominasinya di 24 kabupaten/kota dari sebelumnya 14 daerah pada tahun 1999. Demikian juga PPP, menambah satu daerah pemenangan.

Kantong-kantong massa PDI-P di luar Jawa dan Bali juga banyak yang berguguran dan dikuasai partai-partai lain. Kemenangan PDI-P di 69 kabupaten/ kota luar Jawa-Bali pada tahun 1999 pun terkikis separuhnya, hanya menyisakan 34 daerah yang mereka kuasa pada Pemilu 2004.

Partai Golkar membuktikan kemenangannya di 240 kabupaten/kota atau sekitar 76,2 persen daerah di luar Jawa dan Bali pada Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai politik baru, sukses memenangi perolehan suara di 12 daerah, separuhnya adalah daerah di Pulau Jawa.

Pilkada dan koalisi

Hingga pertengahan tahun 2008, pemilihan kepala daerah langsung sedikitnya sudah diselenggarakan di 356 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Namun, banyak partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti tidak mampu mengandalkan modal suara yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen saat Pemilu 2004 di Sulut itu harus mengakui kemenangan PDI-P di wilayah itu. Golkar juga gagal menggiring calon gubernurnya di basis massanya di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Kekuatan satu partai akan tergambar jelas jika partai yang bersangkutan menjadi pengusung tunggal dan bukan koalisi. Namun, tidak banyak parpol yang cukup percaya diri mengusung pasangan calonnya secara tunggal. Bahkan, untuk daerah-daerah yang tercatat sebagai basis massanya pada pemilu legislatif 2004, banyak parpol yang berkoalisi dengan partai lain yang lebih kecil untuk bisa berhasil memenangi pilkada.

Analisis terhadap 352 kabupaten kota dan 24 provinsi yang sudah menyelenggarakan pilkada langsung selama tiga tahun terakhir menunjukkan, seratus bupati/wali kota dan delapan gubernur terpilih sukses diusung oleh partai tunggal. Selebihnya hasil koalisi partai yang mujarab mengusung pasangan calon meraih kursi nomor satu di daerah.

Partai Golkar tercatat sebagai motor politik yang paling banyak berhasil mengegolkan pasangannya menjadi bupati dan wali kota. Sebanyak 151 pasangan calon bupati/wali kota berhasil dimenangkan, sebanyak 54 di antaranya diusung secara tunggal. Disusul oleh PDI-P yang berhasil mengegolkan 96 pasangan calon menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 26 di antaranya diusung secara tunggal.

PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk enam gubernur terpilih dari 12 provinsi yang mereka menangi. Partai Golkar sendiri hanya mampu mengusung empat gubernur terpilih, dua di antaranya sebagai pengusung tunggal

Perubahan peta politik dari hasil pemilu ke pilkada tergambar paling jelas di wilayah basis massa partai-partai nasionalis, terutama peralihan dominasi suara dari Golkar ke PDI-P dan sebaliknya.

Di tingkat kabupaten/kota, Golkar mampu mempertahankan 40 daerah basis massanya dengan memenangi pilkada sebagai pengusung tunggal. Namun, Golkar kalah di sepuluh kantong massanya saat menjadi pengusung tunggal di pilkada.

Sebanyak empat di antaranya dimenangi oleh PDI-P sebagai pengusung tunggal. Daerah Golkar yang dimenangi PDI-P tanpa koalisi adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Teluk Bintuni, Musi Rawas, dan Maluku Utara Barat. Di level provinsi, calon dari PDI-P juga merebut empat daerah Golkar tanpa koalisi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, PDI-P juga kalah di delapan kabupaten/kota saat menjadi pengusung tunggal.

Delapan daerah yang saat Pemilu 2004 menjadi basis massa PDI-P dimenangi oleh Golkar tanpa koalisi saat pilkada, yaitu Kabupaten Karangasem (Bali), Sumba Barat, Blora, Boyolali, Purworejo, Klaten, Grobogan, dan Lampung Timur. Di level provinsi, tidak ada gubernur yang dimenangkan oleh Golkar di luar basis massanya.

Sementara itu, dari sejumlah calon yang diusung secara tunggal oleh Partai Keadilan Sejahtera, empat kabupaten/kota dimenangi partai ini. Dua daerah merupakan basis massa PKS saat Pemilu 2004, sementara dua lainnya merebut kantong massa Golkar dan PDI-P, yaitu Kabupaten Bekasi dan Bangka Barat.

Partai Amanat Nasional memenangi lebih banyak pilkada di luar wilayah basis massanya. Dari lima daerah yang calonnya diusung tunggal oleh PAN, tiga daerah merupakan basis Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Pesisir Selatan, Gunung Kidul, dan satu daerah basis PKB, yaitu Lamongan.

Pilkada seharusnya menjadi ujian bagi partai-partai besar menuju pesta akbar demokrasi tahun depan. Dari sini seharusnya bisa diukur apakah basis massa yang dimiliki parpol riil atau semu. (Litbang Kompas)

Kamis, 20 November 2008

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.(Litbang Kompas)

Indonesia Akan Tinggalkan Sistem Presidensial

Indonesia Akan Tinggalkan Sistem Presidensial

JAKARTA, JUMAT - Sistem pemerintahan presidensial yang selama ini diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia, sadar atau tidak sadar, lambat laun akan ditinggalkan. Sebaliknya, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan yang parlementer.

Perubahan itu diakibatkan reformasi politik dan amandemen konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik. Oleh sebab itu, amandemen UUD 1945 kembali merupakan sebuah kemestian, untuk merumuskan ulang sistem presidensial tersebut.

Demikian disampaikan pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), John Pieris, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap FH UKI di Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur, Jumat (14/11).

Mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu menyampaikan pidatonya yang berjudul "Proporsionalitas Kekuasaan Presiden RI dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil". Acara itu dihadiri Rektor UKI Bernard SM Hutabarat, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum UKI Yapto Suryosumarno, serta civitas akademika FH UKI.

"Beberapa kali perubahan terhadap beberapa pasal dan ayat UUD 1945, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan parlementer. Dan, secara sadar dan tidak sadar akan meninggalkan sistem pemerintahan presidensiil. Ini akibat reformasi politik dan konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik," tandas John Pieris.

Menurut John Piries, konstitusi atau hukum dasar pada dasarnya merupakan kontrak sosial. Oleh karenanya, konstitusi yang dibuat itu harus pula mencerminkan aspirasi politik dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. "Konstitusi yang dibuat oleh para pembuatnya tidak boleh semata-mata untuk kepentingan pembentuknya, tetapi justru harus secara objektif dan rasional mengakomodir aspirasi dari semua lembaga negara," ujarnya.

Diakui John Piries, proses perubahan konstitusi tidak dipersiapkan secara matang. Bahkan, terkesan terburu-buru, reaktif dan emosional. Pembentuk UUD (MPR yang dikuasai oleh anggota-anggota DPR) terkesan lebih mengutamakan kepentingan politik dan kekuasaannya. "Kekuasaan eksekutif dan judikatif diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga secara perlahan-lahan sistem pemerintahan presidensiil bergeser menjadi sistem pemerintahan parlementer," jelasnya.

John Pieris mencontohkan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 yang sudah diamandemen, akan tetapi terdapat beberapa kerancuan mengenai kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam perspektif sistem pemerintahan presidensiil. "Ada juga ketentuan yang menegaskan prinsip-prinsip pemerintahan presidensiil, namun dalam politik ketatanegaraan justru tidak tampak," papar John Piries, menyebut sejumlah pasal UUD 1945.

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Selasa, 18 November 2008

Ke mana janji reformasi Abdullah?

Ke mana janji reformasi Abdullah?
Amin Iskandar | Oct 9, 08 5:21pm

Abdullah Ahmad Badawi akhirnya mengumumkan untuk tidak mempertahankan jawatan presiden Umno dalam pemilihan parti yang ditangguhkan ke Mac 2009.

Beliau mengumumkan sehari sebelum mesyuarat bahagian parti tersebut yang dijadual bermula hari ini.

Ahli parlimen Kepala Batas akhirnya akur kepada desakan-desakan yang diterimanya agar melepaskan jawatan lebih awal daripada pelan peralihan kuasa yang telah dipersetujui oleh Majlis Tertinggi (MT) Umno pada pertengahan Jun 2010.

Semenjak pilihanraya 8 Mac yang menyaksikan BN kehilangan kuasa dua pertiga di Parlimen dan penguasaan terhadap negeri-negeri Perak, Selangor Kedah dan Pulau Pinang, Abdullah menerima tekanan daripada Umno dan parti-parti komponen BN.

Abdullah menerima tamparan hebat apabila SAPP meninggalkan BN. Kira-kira 60 peratus daripada ahli-ahli Gerakan juga mahukan parti tersebut meninggalkan BN.

Tekanan yang diberikan kepada perdana menteri bertambah hebat apabila Anwar Ibrahim berjaya memenangi pilihanraya kecil Permatang Pauh dengan majoriti yang lebih besar berbanding undi yang diraih oleh presiden PKR dalam pilihanraya umum lalu.

Walaupun Najib Razak yang bertanggungjawab sebagai pengarah pilihanraya kecil tersebut dan sering dilihat di Permatang Pauh untuk berkempen, kesalahan diletakkan di bahu Abdullah seratus peratus dan nama Najib langsung tidak dikaitkan.

Kekalahan BN dalam pilihanraya kecil itu telah memberikan suntikan kepada bekas naib presiden Umno, Muhyiddin Yassin untuk mendesak Abdullah berundur lebih awal daripada pelan peralihan kuasa 2010.

Mampukah Najib?

Najib kini disebut-sebut sebagai bakal pengganti Abdullah sebagai presiden Umno sekali gus perdana menteri keenam.

Akan tetapi ia masih belum pasti seperti yang dikatakan oleh Abdullah semalam kerana Najib masih perlu menang sebagai presiden Umno dalam pemilihan parti tersebut Mac depan.

Namun, mengenali Umno yang tidak demokratik dan sering menggunakan alasan perpaduan parti untuk tidak mempertandingkan jawatan tertinggi terutamanya presiden dan timbalannya, peluang Najib untuk menaiki takhta dilihat cerah.

Persolan yang harus difikirkan oleh Umno dan BN pada ketika ini ialah, mampukah anak perdana menteri kedua itu memikul tanggungjawab untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap BN?

Kepimpinan Abdullah yang diregukan bersama Najib dihukum oleh rakyat dalam pilihanraya umum lalu kerana gagal menunaikan janji-janji untuk melaksanakan reformasi terhadap sistem kehakiman, mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap polis, memerangi rasuah dan membuka ruang demokrasi.

BN menang besar dalam pilihanraya 2004 kerana rakyat mengharapkan Abdullah melaksanakan reformasi dalam pentadbiran kerajaan setelah hidup selama 22 tahun bawah pemerintahan autokratik Dr Mahathir Mohamad.

Setelah sepenggal pemerintahannya, Abdullah gagal melaksanakan reformasi, lantan rakyat menolak BN.

Jika pilihanraya umum tersebut berjalan secara telus, bebas dan adil, sudah pasti BN menjadi sejarah.

Era kuku besi dan 'momok Altantuya'

Ramai penganalisa politik menjangkakan bahawa Najib akan mengembalikan Malaysia ke era pemerintahan Dr Mahathir apabila hanya sedikit ruang kebebasan yang dapat dikecapi hari ini akan dirampas kembali.

Analisis begini timbul kerana Najib dilihat sebagai penyambung legasi pemerintahan Dr Mahathir yang pernah menyaksikan tragedi Memali, Operasi Lalang, skandal kewangan dan pembungkaman media arus perdana.

Ramai penganalisis percaya bahawa Dr Mahathir akan memainkan peranan penting dalam pentadbiran kerajaan sewaktu Najib menjadi perdana menteri.

Telah timbul juga cakap-cakap mengenai bekas perdana menteri itu akan dilantik menjadi penasihat kerajaan selepas Abdullah melepaskan jawatan secara rasminya pada Mac tahun hadapan.

Selain dilihat sebagai pemimpin yang bakal mengambil tindakan keras, najib juga dihantui kes pembunuhan Altantuya Shaariibuu dalam perjalanannya ke Seri Perdana.

Baik di peringkat kebangsaan mahupun di peringkat antarabangsa, persepsi tidak dapat diubah bahawa timbalan perdana menteri itu tercemar dengan imej pembunuhan kejam wanita Mongolia yang sekarang ini masih lagi dibicarakan dimahkamah.

Sumpah yang dilafazkan oleh Najib sewaktu kempen pilihanraya kecil di Permatang Pauh bahawa beliau tidak mengenali Altantuya dan tidak tahu-menahu mengenai kes pembunuhan kejam itu masih tidak dapat meyakinkan rakyat. Keputusan pilihanraya kecil Permatang Pauh itu boleh dijadikan sebagai bukti.

Ke mana reformasi Abdullah?

Antara perkara yang paling memeningkan kepala Abdullah menjelang saat-saat akhir pemerintahannya ialah, bagaimanakah rakyat Malaysia mengingatinya pada masa akan datang?

Tunku Abdul Rahman dikenang sebagai Bapa Kemerdekaan Negara. Abdul Razak pula adalah Bapa Pembangunan Malaysia. Hussein Onn dilihat sebagai Bapa Penyatuan Malaysia dan Dr Mahathir diingati sebagai Bapa Pemodenan Malaysia.

Apakah gelaran rakyat terhadap Abdullah? Buat masa ini masih belum ada gelaran yang sesuai selain bapa mertua Khairy Jamaluddin.

Sebab itulah Abdullah kini akan berusaha keras untuk melaksanakan Reformasi yang pernah dijanjikan olehnya sebelum meletak jawatan secara rasmi.

Tiga langkah akan dilaksanakan oleh beliau sebelum berundur:

bullet buttonMemperkukuhkan institusi negara dengan melibatkan penubuhan tiga buah suruhanjaya yang berkaitan pelantikan hakim, pencegahan rasuah dan agensi penguatkuasaan.

bullet buttonInisiatif kedua, memperkukuh dan memperluas jaringan keselamatan sosial kerana kekayaan dan hasil kemakmuran negara perlu diagihkan secara adil ke serata negara.

bullet buttonKerajaan dan BN memperbaharui komitmen mereka terhadap usaha mewujudkan sebuah negara yang bersatu dan harmoni.

Mampukah Abdullah melaksanakan perubahan yang besar tersebut dalam masa enam bulan?

Jika sepanjang tempoh empat tahun sejak 2004 perkara-perkara di atas gagal terlaksana, apakah tempoh enam bulan akan menyaksikan perubahan yang mendadak tersebut?

Mampukah Abdullah berhadapan dengan Umno yang jelas menolak reformasi beliau daripada dilaksanakan di Malaysia?

Membongkar sejarah 'Revolusi 48'

Membongkar sejarah 'Revolusi 48'
Amin Iskandar | Oct 30, 08 6:48pm
Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah berkata dalam pidatonya ketika menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-19:

"Sejarah adalah sebahagian dari diri sebagai bangsa, dia tidak boleh dipisahkan apalagi dilupakan. Melupakan sejarah - apalagi meninggalkan sejarah - sama ertinya dengan kehancuran sebuah bangsa." (Soekarno, 17 Ogos 1966)

amin iskandar article 291008 sukarnoBegitulah pentingnya sejarah dari kaca mata presiden pertama Indonesia sehinggakan dia mengatakan jika sejarah ditinggalkan ertinya sama seperti kehancuran sesuatu bangsa.

Akan tetapi sejarah seringkali dimanipulasi dan dibolot oleh orang-orang yang memegang kekuasaan – seperti yang berlaku di negara kita Malaysia.

Dalam buku-buku teks sejarah sekolah, perjuangan kemerdekaan negara hanyalah milik Umno dan Perikatan. Hanya perjuangan mereka ditonjolkan, sementara perjuangan orang-orang kiri pelbagai bangsa digelapkan dan dipropagandakan sebagai pengganas dan penjahat.

Akan tetapi, kerja-kerja menyembunyikan sejarah bukanlah sesuatu perkara yang mudah. Kebenaran pasti akan terbongkar jua. Apa lagi di zaman internet apabila manipulasi sejarah dan maklumat dapat dipecahkan dengan pelbagai pendapat dan fakta daripada pelbagai sumber.

Sebelum Revolusi 48

Selepas berjaya dengan dokumentari Sepuluh Tahun Sebelum Merdeka, Fahmi Reza muncul dengan dokumentari terbaru bertajuk Revolusi 48.

Pengarah filem ini membongkar kembali peristiwa bersejarah pada 1948 yang telah memainkan peranan penting dalam usaha-usaha memerdekakan negara daripada penjajahan British.

Peranan orang-orang kiri daripada Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM), Angkatan Pemuda Insaf (API), Angkatan Wanita Sedar (AWAS) dan Parti Komunis Malaya (PKM) dalam memerdekakan Malaya tidak boleh dinafikan.

Malahan jika dikaji kembali sejarah, mereka inilah perintis perjuangan untuk memerdekakan negara. Ketika Umno yang ditubuhkan pada 1946 bangga dengan slogan “Hidup Melayu”, mereka (baca: golongan kiri) telah melaungkan slogan “merdeka”.

amin iskandar article 291008 posterPak Mamat, Mak Minah, Pak Chou Tong dan Pak Waimin menceritakan kembali apa yang sebenarnya berlaku pada ketika Malaysia berada di zaman pra-kemerdekaan bermula dari zaman penjajahan Jepun, kembalinya British selepas ketewasan Jepun, darurat diisytiharkan dan golongan kiri mengangkat senjata.

Peranan Lai Teck

Jika Khalid Jaafar, setiausaha akhbar Anwar Ibrahim sewaktu beliau masih timbalan perdana menteri menganggap bahawa Lai Teck yang berasal dari Vietnam sebagai penyelamat agung kepada negara dari pengaruh komunis, filem Revolusi 48 menceritakan sebaliknya.

Chou Tong menceritakan dengan jelas dalam dokumentari ini tentang peranan Lai Teck yang digunakan oleh British untuk menggagalkan usaha memerdekakan negara selepas Jepun menyerah kalah.

Chou, atau nama sebenarnya Au Heng Fong, berkata Lai Teck pernah berkhidmat dengan Perancis ketika di Vietnam sebagai ejen perisikan. Selepas diketahui tentang peranannya sebagai tali barut penjajah oleh rakyat Vietnam, beliau menyusup ke Singapura untuk membantu British.

Di Singapura, Lai Teck pada mulanya menjadi buruh dan kemudian aktif di kesatuan buruh. Dari situlah beliau berjaya menyusup masuk dalam gerakan kiri dan sekali gus rapat dengan PKM.

Apabila Jepun menjajah Tanah Melayu dan Singapura, Lai Teck menjadi tali barut kepada penjajah Jepun pula. Beliaulah yang banyak membongkarkan rahsia kepada Jepun mengenai gerakan anti-Jepun.

Namun apabila Jepun menyerah kalah, dengan cepat Lai Teck bertukar kiblat kepada British. Antara tugasan pentingnya ialah menggagalkan pengisytiharan kemerdekaan Tanah Melayu selepas Jepun menyerah kalah.

Jika tiada Lai Teck, Malaya akan merdeka sepuluh tahun lebih awal!

Gerakan bersenjata

Dalam dokumentari ini juga, keempat-empat penggerak PKM ini menceritakan latar belakang bagaimana dan mengapa mereka menyertai gerakan bersenjata untuk melawan penjajah British.

Pada 1948, British mengisytiharkan darurat. PKMM, API, AWAS dan PKM yang sebelum ini bergerak secara sah diharamkan dan ramai pemimpin parti-parti tersebut ditahan.

Jika British tidak menghalang kebangkitan gerakan kiri, mereka akan dihalau oleh rakyat dari Malaya seperti rakyat Indonesia menghalau Belanda.

British tahu gerakan menuntut kemerdekaan menjadi semakin popular. Mahu tidak mahu, mereka terpaksa akur untuk memberi kemerdekaan kepada Malaya.

amin iskandar article 291008 konfrantasiJika orang-orang kiri berjaya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan, kepentingan British akan hilang seratus-peratus.

Maka British terpaksa menyokong Umno dan Perikatan yang lebih menjamin kepentingan mereka. Apabila darurat diisytiharkan pada 1948, maka revolusi pun bermula.

Ramai pemuda dan pemudi dari golongan buruh dan petani menyertai perjuangan mengangkat senjata untuk melawan British.

Selepas penjajah meninggalkan Malaya pada 1957, kerajaan yang dipimpin Tunku Abdul Rahman meneruskan perang terhadap golongan kiri dan PKM.

Tindakan ini telah menyebabkan perjuangan bersenjata berterusan sehinggalah Perjanjian Damai Haadyai ditandatangani antara Malaysia, Thailand dan PKM pada 1989.

Contohi Megawati

Dokumentari Revolusi 48 satu usaha membongkar kembali sejarah-sejarah yang telah disembunyikan selama separuh abad. Pada masa akan datang, lebih banyak lagi yang akan terbongkar.

Penulisan sejarah haruslah adil kepada semua pihak. Yang benar tetap benar. Yang salah tetap salah. Fakta ini tidak dapat diubah.

amin iskandar article 291008 funeralBaru-baru ini, serikandi negara Shamsiah Fakeh pulang ke rahmatullah. Apa yang menyedihkan, pemergiannya tidak mendapat penghormatan yang sepatutnya oleh pemerintah dan aktivis-aktivis politik di Malaysia.

Perkara ini saya khabarkan kepada seorang teman di Indonesia yang kini aktif dengan gerakan Islam. Beliau turut bersedih dengan cara Malaysia melayan tokoh bangsa.

Beliau memberitahu, ketika acara pengebumian bekas diktator Jeneral Soeharto, ramai hadirin yang hadir termasuklah bekas presiden Megawati Soekarnoputri.

Ketika zaman kegemilangan Soeharto, Megawati ditindas teruk oleh Soeharto. Parti PDI-P yang dipimpinnya pernah dipukul oleh jeneral tentera itu.

Bukan itu sahaja, ayah Megawati iaitu presiden pertama Indonesia, Soekarno dijatuhkan oleh rampasan kuasa yang dipimpin oleh Soeharto.

Malaysia harus mencontohi Megawati. Tidak kira apa ideologi politik sekalipun, tokoh tetap tokoh.

Jasa yang besar harus diberi penghargaan dan penghormatan.

Minggu, 16 November 2008

Puan Maharani Tolak Disebut Produk Nepotisme

Puan Maharani Tolak Disebut Produk Nepotisme

Ketua DPP PDI-P Bidang Pemberdayaan Perempuan Puan Maharani bersama ibunya Megawati Soekarnoputri yang merupakan Ketua Umum DPP PDI-P di sela-sela acara Deklarasi PDI-P sebagai Rumah Perempuan di Kantor DPP di Lenteng Agung Jakarta Selatan, Senin (25/8).

Jumat, 3 Oktober 2008 | 16:20 WIB

JAKARTA, JUMAT-TAK hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyangkal keinginan putranya, Edi Bhaskoro maju sebagai calon anggota legislatif bagian dari bentuk nepotisme. Putri Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, juga menolak anggapan itu. Puan tegas menyatakan, tidak semua cucu-cucu Bung Karno dijadikan sebagai calon anggota legislatif.

"Itu bukanlah sesuatu yang dianggap sebagai bagian dari nepotisme. Siapa saja yang diajukan sebagai caleg yang kebetulan orang tuanya memang sudah ada di dalam partai, tak lain sebagai bagian dari kaderisasi. Kita juga tidak asal-asalan mencalonkan anak-anaknya begitu saja," kata Puan Maharani saat ditemui usai melakukan shalat Ied di Kantor DPP PDI Perjuangan, Rabu (1/10) lalu.

Pengajuan caleg, di PDI Perjuangan adalah mencari mereka yang memiliki potensi dan bukan karena didasari atas ewuh pakerwuh, menghormati orang tuanya. Yang kita cari adalah mereka yang berpotensi dan tidak semua cucu-cucu Bung Karno dijadikan sebagai caleg. Adik Megawati, Guruh Soekarnoputra juga dipastikan akan maju kembali sebagai calon wakil rakyat.

Dari informasi yang dihimpun, selain nama Puan Maharani yang dipastikan menjadi caleg untuk dapil Jawa Tengah V, nama putri Guntur Soekarnoputra, Puti Guntur Soekarnoputri juga dipastikan maju sebagai calon wakil rakyat.

Di partai lain, kesan nepotisme juga ada. Di tubuh Partai Demokrat kesan nepotisme juga dirasakan. Selain Edi Bhaskoro yang akan maju sebagai calon wakil rakyat, ketua Umum DPP Partai Demokrat, Hadi Utomo, tak lain adalah ipar Presiden SBY. Partai yang lain, juga begitu.

Di Partai Golkar, bapak dan anak juga dicalonkan menjadi wakil rakyat. Ketua DPR yang tak lain Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono kembali dipastikan maju sebagai calon wakil rakyat untuk daerah pemilihan DKI Jakarta. Sementara anaknya, Dave Laksono juga akan maju untuk daerah pemilihan Jawa Barat II.
Dari informasi yang dihimpun, beberapa caleg yang memenuhi unsur nepotisme di Golkar antara lain, Fazwan Hairul azwar yang tak lain putra dari salah seorang Wakil Sekjen DPP Partai Golkar, Rully Chairul Azwar.

Kemudian, Jerry AK Sambuaga, putra Theo L Sambuaga, ketua Komisi 1 DPR yang juga salah satu ketua DPP Partai Golkar. Fachri Prawirasudjana, putra tokoh Golkar asal Jawa Barat, Asep Sudjana. Lalu, Syafran Sofyan, mertua Muladi, Gubernur Lemhanas yang juga salah satu Ketua DPP Partai golkar dan beberapa lainnya. (Persda Network/Rachmat Hidayat)

Hari ini Megawati "Merahkan" Kota Solo

Home/Nasional
Hari ini Megawati "Merahkan" Kota Solo
Selasa, 28 Oktober 2008 | 10:06 WIB

JAKARTA, SELASA — Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dijadwalkan akan menyampaikan pidato politiknya dalam acara peringatan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, yang dipusatkan oleh PDI Perjuangan di Alun-alun Kraton Kasunanan Solo, Jawa Tengah, Selasa (28/10).

Penyampaian pidato politik ini bagian dari puncak peringatan hari Sumpah Pemuda yang dijadikan sebagai agenda nasional PDI Perjuangan. Sekaligus, tanda dimulainya secara resmi sosialisasi nomor 28 sebagai nomor urut PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif 2009.

"Acara peringatan Sumpah Pemuda di Alun-alun Kota Solo dibuka oleh Ketua Panitia Peringatan Sumpah Pemuda yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat, Puan Maharani, sekaligus pengibaran bendera start oleh marching band DPC Kota Solo," ujar salah satu Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Agnita Singedikane, Selasa (28/10).

Agnita menjelaskan, acara juga akan diisi dengan para peserta kirab merah putih berpakaian seragam Partai dengan membawa 28.000 bendera merah putih memasuki. Alun-alun utara Kraton Kasunanan Solo. Selanjutnya, Ketua Umum PDI Perjuangan, Hj Megawati Soekarnoputri beserta rombongan dari DPP PDI Perjuangan memasuki Alun-alun Utara Kraton. Acara dipandu oleh kader Partai, Deddy Gumelar.

Ketua Panitia Peringatan Sumpah Pemuda di Solo, Puan Maharani menjelaskan, peringatan Sumpah Pemuda ini adalah salah satu upaya PDI Perjuangan untuk mengajak masyarakat di seluruh Tanah Air untuk bersama berjuang melawan lupa terhadap sejarah.

"Peringatan sumpah pemuda di Solo untuk mengingatkan para pemuda-pemudi agar tidak melupakan sejarah. Sekaligus, merebut hati para pemuda-pemudi untuk bergabung dengan PDI Perjuangan. Sumpah pemuda 28 Oktober milik bangsa, sedangkan nomor 28 adalah milik PDI Perjuangan," kata Puan.

Sedianya peringatan Sumpah Pemuda sebagai agenda nasional partai ini, akan diperingati oleh stuktur-struktur PDI Perjuangan di seluruh Indonesia. "Rangkaian acara ditutup dengan pidato politik Ketua Umum PDI Perjuangan, Hj Megawati Soekarnoputri sekitar pukul 16.00 WIB, untuk selanjutnya kembali bertolak ke Jakarta," Agnita menambahkan. (Persda Network/yat)

Puan Maharani Tak Gentar Hadapi Mbak Tutut

Puan Maharani Tak Gentar Hadapi Mbak Tutut

Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri

Senin, 18 Agustus 2008 | 17:58 WIB

JAKARTA, SENIN - Putri bungsu Megawati Soekarnoputri- Taufiek Kiemas, Puan Maharani, optimistis akan masuk Senayan, sebagai wakil rakyat periode 2009-2014. Puan yang menjadi caleg nomor urut 1 dari Dapil V Jateng, mengaku tak gentar meski harus bersaing dengan tokoh nasional dari parpol lain di Dapil yang sama.

Pasalnya, figur-figur orang terkenal akan mengadu nasib, mencari simpati menjadi calon wakil rakyat periode 2009-2014 di Dapil V yang meliputi, Solo, Klaten, Boyolali, dan Sukoharjo. "Sebagai kader partai, tentu saja saya siap ditempatkan di mana saja. Kalau kebetulan dari partai lain ada nama-nama yang dianggap akan menjadi salah satu rival berat di sana, saya siap," ujar Puan saat ikut serta dalam rombongan PDIP menyerahkan daftar nama caleg ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (18/8).

Sejumlah nama-nama terkenal memang akan bersaing ketat di Dapil Jateng V pada Pemilu legislatif 2009. Diantaranya mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nurwahid. Mantan juara dunia bulutangkis, Icuk Sugiarto yang dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Serta, putri mantan presiden almarhum Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut yang kabarnya juga maju lewat Solo dengan kendaraan PKPB.
Bersaing dengan tiga tokoh populer tersebut, Puan yang di PDIP menjabat sebagai Ketua DPP Bidang Pemberdayaan Perempuan, yakin akan bisa meraih perolehan suara signifikan dan terpilih sebagai caleg. "Insya Allah bisa," ujarnya.

Dikatakan Puan, bukan tanpa alasan jika dirinya optimistis menyongsong persaingan berat di Dapil V Jateng. Menurutnya, Jateng, termasuk Solo, adalah basis PDIP. Barometer paling sahih kata dia adalah kemenangan pasangan yang diusung PDIP, Bibit Waluyo-Rustriningsih pada Pilkada Jateng Juni lalu.

"Berkaca pada Pilkada Jateng kemarin, PDIP menang mutlak di sana. Mesin parpol berjalan bagus, dan itu yang akan kami konsolidasikan. Apa yang kami lakukan pada Pilkada Jateng, akan kami lanjutkan. Tentu saja kami punya strategi untuk mempertahankan basis kami di Jateng," jelas Puan.

Sabtu, 15 November 2008

Lagi! PRT Tewas Dianiaya Majikan

Home/Megapolitan/Crime Story
Lagi! PRT Tewas Dianiaya Majikan
Senin, 18 Agustus 2008 | 03:18 WIB

JAKARTA, SENIN - Seorang pembantu rumah tangga (PRT) bernama Tarsinah (29) disiksa hingga tewas oleh majikan perempuan, istri seorang fotografer. Ini mengingatkan kasus serupa yang dilakukan oleh istri seorang dokter.

Peristiwa tragis ini terjadi di rumah majikan Tarsinah, pasangan Arifin-Elis Irena Santoso. Keluarga pengusaha foto studio ini tinggal di Jalan Aren No 29, RT 07/03, Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat. Tarsinah tewas Sabtu (16/8) pagi dan sang majikan berusaha menutup-nutupi kasus ini.

Elis Irena Santoso (35) melaporkan bahwa Tarsinah yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah, tewas terjatuh dari tangga. Pasangan Arifin-Elis akhirnya membawa Tarsinah ke Rumah Sakit Pelni di Jalan Petamburan, Jakarta Barat. Elis dan Arifin meminta RS Pelni memeriksa kondisi Tarsinah setelah mengalami kecelakaan. Melihat keadaan Tarsinah telah tak bernyawa, rumah sakit menolak permintaan ini, Elis dan Arifin akhirnya disarankan untuk meminta surat keterangan dari RT/RW. Akhirnya, Elis dan Arifin membawa jenazah Tarsinah kembali ke rumah.

Elis dan suaminya lalu mendatangi kediaman Rahman yang menjabat sebagai ketua RT untuk meminta surat keterangan kematian Tarsinah. Kepada Rahman, lagi-lagi Elis mengatakan Tarsinah meninggal karena jatuh dari tangga. Rahman tak langsung mempercayainya. Ia minta diizinkan untuk melihat kondisi Tarsinah. Sebab, Rahman sudah sering mendengar bahwa Elis sering menyiksa pembantunya.

Kecurigaan Rahman semakin kuat setelah melihat jenazah Tarsinah. Ia pun memutuskan untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Rahman berjanji memberikan keterangan kematian jika polisi sudah melihat jenazah Tarsinah. Aparat Polsektro Palmerah pun datang. "Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata keterangan yang diberikan Elis tidak benar. Di tubuh Tarsinah ditemukan bekas luka penganiayaan," kata Kapolsektro Palmerah Kompol M Yusuf.

Sebenarnya, kata Yusuf, rumah sakit menolak permintaan ini bukan karena tidak ada surat pengantar dari RT/RW. "Mereka melihat adanya kejanggalan," kata M Yusuf, Minggu (18/8) sore.

Kejanggalan dimaksud adalah cara Elis dan Arifin membawa jenazah Tarsinah ke rumah sakit. "Mereka membungkusnya dengan plastik," kata M Yusuf.

Yusuf menambahkan luka bekas penganiayaan ditemukan di bagian belakang kepala, mulut, dan leher Tarsinah. "Rupanya, Tarsinah meninggal setelah dianiaya oleh Elis," turur M Yusuf.

Puncak penganiayaan dilakukan Elis pada Jumat (15/8) siang di ruang makan. Ketika Tarsinah membereskan piring-piring bekas makan, Elis datang dan mendampratnya. Elis menilai Tarsinah malas kerja. Tak puas hanya mendamprat, Elis mengambil botol minyak gosok dan memukulkannya ke kepala Tarsinah bagian belakang. Tarsinah tersungkur seketika. Tarsinah terjatuh, tapi Elis belum menghentikan penganiayaannya. Elis masih mencekik leher Tarsinah hingga pingsan.

Saat peristiwa ini terjadi, Arifin (suami) dan dua anak Elis sedang tidak berada di tempat. Yang ada hanya Zania, pembantu lainnya. Zania memilih berdiam diri dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ia baru bergerak setelah dipanggil majikannya untuk membantu membawa Tarsinah ke kamar. "Menurut Zania, saat itu Tarsinah masih hidup," papar Yusuf.

Zania berusaha merawat Tarsinah yang terluka parah. Ia hanya memberikan obat luar di kepala Tarsinah yang terluka. Menjelang malam hari, keadaan Tarsinah semakin parah. Pukul 00.30, Tarsinah mengembuskan napas terakhir, disaksikan oleh Zania. Malam itu juga, Zania melapor ke Elis. Elis jadi panik. Dalam kebingungan, Elis membungkus jenazah Tarsinah dan baru keesokan harinya ia menceritakan kejadian ini kepada suaminya.

Tiga kali

Kasus yang dilakukan Elis ini mirip dengan kasus yang melibatkan Renata, istri dokter yang menyiksa tiga pembantunya hingga tewas.
Kasus Renata Tan (49) terungkap 22 Juli 2008. Ia menganiaya pembantunya, Septiana Maulina alias Lina (16) hingga tewas. Perbuatan istri seorang dokter spesialis anak ini merupakan ketiga kalinya.

Renata yang tinggal di Perumahan Kedoya Garden, Kedoya Selatan, Kebonjeruk, Jakarta Barat, juga sempat berupaya menghilangkan jejak dengan mengatakan Lina tewas setelah jatuh dari tangga. Sebelumnya, Renata sudah diadili karena dua kali menganiaya pembantunya. Ia terbebas dari jeratan hukum karena pengadilan menyatakan dia gila. Kali ini pemeriksaan polisi menyatakan Renata sehat.

Sama seperti Renata, Elis tiga kali pula menganiaya pembantunya. Bedanya dengan Renata, dua pembantu Elis sebelumnya tidak tewas. "Elis mendekam selama enam bulan di penjara karena perbuatannya, dulu," tutur Yusuf.

Kali ini, Elis pun harus mendekam di sel lebih lama karena korbannya tewas. "Ia dijerat Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang. Ancaman hukumannya tujuh tahun penjara," kata Yusuf. Ia menegaskan suami Elis tidak dijadikan tersangka karena tidak menganiaya.

Selalu mengulang

Menurut ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, kasus penganiayaan seperti ini adalah pengulangan atas apa yang pernah dilakukannya. "Kalau dia pernah dipenjara atas kekerasan yang dilakukannya, itu membuktikan penjara menimbulkan potensi residivisme atau efek tidak jera pada pelaku," kata Reza semalam.

Dalam rumah tangga, sosok pembantu merupakan korban potensial yang paling sempurna. Ini berarti pembantu sebagai sosok yang lemah dan tidak punya daya tawar. "Sedangkan si majikan sebagai pihak yang superior yang bisa melakukan apa pun, dan seolah si pembantu tidak ada bedanya dengan barang," ujarnya.

Banyaknya kekerasan yang dilakukan ibu rumah tangga kepada pembantunya bukan berarti kaum perempuan lebih dominan menganiaya. "Mungkin ini karena perempuan lebih sering di rumah. Saya belum menemukan apakah perempuan lebih dominan dalam menganiaya dibanding laki-laki," tandasnya.

Ia menambahkan para pembantu acap mengalami dehumanisasi. Mereka tidak dilihat dan diperlakukan sebagai manusia. Relasi majikan dan pembantu lama kelamaan menjadi semacam perbudakan baru. Ia meminta pemerintah dan polisi lebih tegas melindungi tenaga kerja informal seperti pembantu ini. "Hal ini jangan lagi dianggap sepele, sebab ini adalah kriminal. Depnaker harus membangun safe guard bagi pembantu," tandasnya.