Kamis, 12 Maret 2009

Mega-JK Bangun Kekuatan

Mega-JK Bangun Kekuatan

KOMPAS / ALIF ICHWAN
Ketua Umum DPP Partai Golkar yang juga Wakil Presiden M Jusuf Kalla bersama Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri melakukan jumpa pers seusai menandatangani Kesepakatan Dua Tokoh di Jakarta, Kamis (12/3). Sebelumnya, kedua tokoh tersebut melakukan pertemuan tertutup.

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla bersama Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri sepakat untuk membangun pemerintahan yang kuat pada masa datang.

Keduanya yakin, hanya dengan pemerintahan yang kuat, kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Jalan Imam Bonjol, Kamis (12/3), itu Kalla ditemani Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh, Wakil Ketua DPP Partai Golkar Agung Laksono, dan Ketua DPP Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu.

Adapun Megawati ditemani Ketua Dewan Pertimbangan Pusat DPP PDI-P Taufik Kiemas serta putrinya, Puan Maharani.

Lima butir kesepakatan tertulis yang berjudul ”Kesepakatan Dua Tokoh” itu dibacakan bergantian oleh Sekjen DPP Partai Golkar Soemarsono dan Sekjen DPP PDI-P Pramono Anung.

Menurut Kalla, tujuan pertemuan itu jelas. ”Sesuai dengan tujuan kita semua dalam berbangsa dan berpolitik, yaitu bagaimana mencapai bangsa yang besar, maju, dan rakyatnya sejahtera. Dalam kerangka itu tentu dibutuhkan pemerintahan yang kuat dan melalui pemilu jujur dan adil,” katanya.

Sementara Megawati menilai pertemuan itu merupakan kesepakatan dua tokoh yang diharapkan dapat terus berproses. ”Saya bilang, waktu ditanya pers kemarin mengenai pertemuan ini, masalah ketemu atau tidak ketemu dengan para tokoh, itu masalah momen. Semoga, kalau kita bisa menyatukan persepsi, pertemuan ini bisa terus dilanjutkan,” papar Megawati.

Ini pertemuan kedua yang dilakukan Kalla-Mega. Pertemuan pertama berlangsung saat Idul Fitri tahun lalu, dengan Kalla mendatangi Megawati di kediamannya di Jalan Teuku Umar.

Tidak ada capres-capresan

Saat ditanya pers apakah dibicarakan juga mengenai pembagian kekuasaan antara posisi calon presiden dan wakil presiden, Megawati menjawab, ”Tadi kami makan enak. Jadi, belum ada urusan capres-capresan. Saya tadi bilang kepada Pak Kalla, saya pilih nasi goreng kampung karena dari kampung itulah yang enak.” Ucapan Megawati itu disambut tertawa Kalla.

Meski berkali-kali ditanya mengenai arah pertemuan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden Juli mendatang, baik Kalla maupun Megawati selalu mengelak.

”Pertemuan berdua ini diharapkan akan dapat menghasilkan suasana dalam kampanye maupun pemilihan presiden. Seperti, tentunya, masyarakat dan media tahu akhirnya kulminasinya di pemilu presiden yang akan dilakukan Juli mendatang, sehingga apa pun di pengujung tahun 2009 akan ada proses demokrasi yang dinamikanya cukup tinggi. Namun, tetap aman dan damai serta jujur dan adil.”

Tentang kelanjutan dua parpol itu, Megawati menyatakan, pertemuan akan berlanjut di tingkat DPP, sebelum 16 Maret 2009.

Adapun Kalla menyatakan, penentuan koalisi merupakan kewenangan partainya. ”Kami tidak bicarakan hal-hal di luar kewenangan partai. Sikap formal Golkar akan disampaikan seusai pemilihan legislatif,” tuturnya.

Positif

Capres usungan Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto, menilai pertemuan Megawati-Kalla merupakan bentuk komunikasi politik yang baik dan perlu dilakukan. ”Saya kira bagus ya, saling berkomunikasi politik seperti itu antartokoh bangsa. Saya juga beberapa kali ketemu dengan sejumlah tokoh, seperti Ibu Megawati dan yang lain. Berdemokrasi kan artinya juga saling berkomunikasi,” ujar Prabowo.

Prabowo mengelak menjawab pertanyaan soal ke mana kecenderungan pihaknya akan ”merapat” dalam konteks koalisi di tengah sejumlah fenomena ”blok politik” seperti Blok M (Megawati), Blok J (Jusuf Kalla), atau Blok S (SBY). ”Lha, kok pake blok-blokan segala sih? Kalau Blok P memangnya ada belum, ya? Ha-ha-ha,” ujar Prabowo.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menghargai pertemuan politik Partai Golkar dengan PDI-P. Demokrat setuju dan sejalan dengan isu yang dibahas Golkar dan PDI-P.

”Kami selalu menghargai pertemuan-pertemuan politik Golkar dan PDI-P sejak dahulu sampai sekarang meskipun status Golkar ada di dalam pemerintahan, sedangkan PDI-P jelas partai oposisi. Kami tidak pernah mempersoalkannya karena komunikasi politik adalah hal yang baik dan biasa saja,” ujar Anas.

Demokrat melihat pertemuan itu lumrah dan bukan sesuatu yang baru karena telah dirintis jauh sebelumnya saat pertemuan Golkar dan PDI-P di Medan dan Palembang tahun 2008.

Tradisi baru

Pengamat politik Indria Samego menilai silaturahim yang dilakukan sejumlah pemimpin parpol menjelang pemilu legislatif merupakan tradisi baru dalam politik Indonesia. ”Hal ini tidak terjadi di Pemilu 2004. Meskipun adakalanya tidak mengagendakan sesuatu, ini memberikan pengalaman positif bagi politik nasional,” ujarnya.

Menurut Indria, pertemuan pimpinan parpol juga merupakan iklan politik yang efektif dan bisa membuat rakyat makin tertarik untuk ikut memilih. Perkembangan yang menarik ini bisa melahirkan agenda pertemuan baru dan melahirkan alternatif calon presiden. (HAR/MAM/INU/OSD/DWA)

Jateng, Magnet Nasional

Jateng, Magnet Nasional

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas KPU Kota Semarang melakukan sosialisasi pemilu pada kegiatan "Pendidikan Pemilih di Lokalisasi Sunan Kuning" Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (5/3). Kegiatan yang diselenggarakan oleh BEM KM Universitas Negeri Semarang ini bertujuan memberikan pengetahuan kepada pekerja di lokalisasi tersebut untuk menggunakan haknya dengan benar pada Pemilu 2009.

Oleh Winarto Herusansono

MENJELANG kampanye terbuka 16 Maret hingga 5 April 2009, Provinsi Jawa Tengah menjadi medan magnet bagi partai politik besar untuk mendulang suara pemilih. Sejumlah tokoh nasional akan meramaikan kampanye terbuka di provinsi dengan sekitar 26 juta pemilih terdaftar itu.

Berdasarkan peta politik pascapemilihan gubernur Jawa Tengah 22 Juni 2008, PDI-P memang masih merajai dengan memenangkan pasangan mereka, Bibit Waluyo (mantan Panglima Kodam V Diponegoro) dan Rustriningsih (mantan Bupati Kebumen) sebesar 43,44 persen.

Disusul oleh Partai Golkar yang mengusung Bambang Sadono dan Ketua PWNU Jateng M Adnan, serta calon dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera Sukawi Sutarip (Wali Kota Semarang dan Ketua DPD PD Jateng).

Tidak dapat dimungkiri, Jawa Tengah adalah lumbung suara tradisional Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri, tentunya setelah Bali. Meski demikian, tidak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, capres Partai Hanura Wiranto, capres Gerindra Prabowo Subianto, dan capres alternatif Sutiyoso akan serius berkampanye di Jateng.

Sekretaris Umum DPD Partai Demokrat Jateng Dani Sriyanto, Rabu (11/3), mengemukakan, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa disapa SBY akan berkampanye di Kota Semarang pada 5 April 2009. SBY memilih berkampanye pada hari terakhir sebelum masa tenang ditetapkan DPD Partai Demokrat Jateng setelah SBY menggarap pula wilayah DI Yogyakarta.

”Tema besar kampanye itu, keberhasilan pemerintah saat ini harus dilanjutkan. Tema itulah yang menjadi ikon tema besar Partai Demokrat pada kampanye terbuka nanti,” ungkap Dani.

Salah satu alasan SBY berkampanye di ibu kota Jateng, Semarang, menurut Dani, karena kekuatan massa Partai Demokrat di kawasan pantai utara, khususnya Semarang dan Rembang, cukup besar. Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip juga merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Posisi ini mempermudah konsolidasi massa, termasuk konsolidasi pengamanan kampanye.

Di kubu Partai Golkar, Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo menjelaskan, sebagai calon presiden, Jusuf Kalla juga serius menggarap Jateng. JK bahkan telah memilih jadwal kampanye terbuka di Jateng pada 25 Maret dan 4 April 2009. ”Kami belum memutuskan mengenai lokasi tepatnya di mana JK akan berkampanye. Bisa di Solo, Magelang, atau Semarang. Hal itu bergantung pada jadwal nanti, menyesuaikan dengan agenda KPU,” kata Firman.

Firman menjelaskan, JK akan didukung oleh tokoh-tokoh nasional dalam berkampanye menggarap potensi suara Jateng. Tokoh lain juga turun, seperti Siswono Yudo Husodo, Akbar Tandjung, juga Sultan Hamengku Buwono X yang banyak dikenal masyarakat.

Mengenai upaya PDI-P untuk mempertahankan mayoritas perolehan suara pada Pemilu 2004, menurut Sekretaris Umum DPD PDI-P Jateng Nuniek Sriyuningsih, PDI-P tetap berkonsentrasi pada kampanye di Solo, Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, Boyolali, dan sekitarnya.

Untuk itu, jadwal kampanye Megawati pun akan diarahkan ke daerah Solo dan sekitarnya. Caleg potensial, seperti Tjahjo Kumolo, yang bertarung di Kota Semarang dan sekitarnya serta Puan Maharani di Kota Solo dan sekitarnya juga telah berkampanye langsung ke masyarakat. ”PDI-P akan mengurangi pengerahan massa pada kampanye terbuka,” katanya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Jateng Ida Budhiati menjelaskan, KPU telah meniadakan batasan wilayah kampanye sesuai dengan Surat Keputusan KPU Nomor 115 Tahun 2009. Dengan aturan baru itu, kampanye untuk satu partai politik bisa berlangsung serentak di seluruh Jateng. ”Kampanye bisa seperti pasar bebas. Silakan berkampanye sesuai dengan jadwal yang disiapkan KPU,” ungkap Ida.

Menyambut kampanye yang bakal berlangsung hiruk-pikuk ini, Kepolisian Daerah Jateng dan Komando Daerah Militer IV Diponegoro menggelar simulasi pengamanan pemilu di Jalan Pahlawan Semarang, Rabu lalu.

(HERPIN DEWANTO)

Sosok Keraton dalam Politik

Sosok Keraton dalam Politik

DIDIE SW

KERATON Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa, khususnya yang bernuansa Mataraman. Hingga kini, keraton yang berdiri dua setengah abad lalu itu masih menjadi patron kultural masyarakat di DIY dan sebagian Jawa Tengah. Namun uniknya, meski kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat, keraton tak serta-merta menjadi patron dalam berpolitik.

Lantas, di manakah letak Keraton Yogyakarta dalam konteks pemilih pemilu dan seberapa besar pengaruh tokoh terhadap pilihan politik?

Arif Akhyat, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menyatakan, Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya sebenarnya mengakar kuat hingga ke masyarakat bawah. Sebagai institusi, keraton sebetulnya menjadi patron perubahan dalam masyarakat, termasuk orientasi pilihan politik. Namun, kekuatan pengaruh keraton tersebut berlaku pada kalangan tertentu semata, yaitu pada orang Yogyakarta asli dan pendatang yang telah menyatu secara kultural dengan keraton.

Selain itu, sikap politik Keraton Yogyakarta yang secara demokratis membebaskan pilihan politik rakyat menjadikan peta politik DIY menjadi cenderung ”netral” dari intervensi perintah keraton. Pada titik tertentu, sikap keraton yang sebenarnya sangat dipatuhi oleh kawula Yogyakarta itu menempatkan citra keraton lebih berfungsi sebagai institusi budaya ketimbang politik (Sultan HB X sebagai Raja Yogyakarta adalah Gubernur DIY, sekaligus pimpinan Golkar).

Dengan demikian, tak mengherankan jika publik Yogyakarta memandang Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya, tempat nilai-nilai budaya Jawa dilestarikan. Namun, dalam berpolitik, publik Yogya bisa memiliki pilihan politik yang berbeda. Secara sederhana, hal itu juga tecermin dalam polarisasi dukungan kerabat Keraton Yogyakarta terhadap patron keraton, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Prabukusumo, adik HB X, contohnya, cenderung mendukung Partai Demokrat dan calon presiden yang diusung parpol tersebut dalam Pemilu 2009.

Meski demikian, patron budaya itu terbukti sewaktu-waktu bisa menjadi sebuah patron politik manakala pihak keraton atau Sultan HB X sendiri memerintahkan sebuah gerakan politik, sebagaimana terjadi pada ”Aksi Massa Reformasi” Mei 1998. Demikian juga terkait dengan pencalonan Sultan HB X sebagai presiden, terlihat peran Keraton Yogyakarta yang kembali dilibatkan dalam kancah politik melalui acara ”Pisowanan Agung”. Dalam kasus-kasus semacam itu, terbukti Keraton Yogyakarta masih memiliki pamor kuat untuk menggerakkan pilihan politik publik Yogyakarta.

Santri dan abangan

Dalam situasi bebas, menurut Sigit Pamungkas, potret karakter konstituen Yogyakarta sejauh ini tak bergeser banyak dari hasil kajian Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters: A Case Study of an Election Under a Hegemonic Party System in Indonesia. Pemilih cenderung menetapkan preferensi politiknya sesuai dengan komitmen sosioreligi yang diyakini. Secara sederhana, pemilih masih terpilah dalam kelompok santri dan abangan. Kelompok ”santri” cenderung memilih partai politik berhaluan Islam, sedangkan ”abangan” lebih condong memilih parpol non-agama, seperti parpol berideologi nasionalis atau sosialis.

Dalam konteks kekinian, ”santri” tak sekadar mengacu pada kalangan pondok pesantren atau mereka yang belajar kepada kiai (nyantri). ”Santri” mencakup konteks yang lebih luas, yaitu mereka yang bersimpati atau berafiliasi pada organisasi sosial keagamaan (Islam) tertentu. Tak terbatas pada organisasi sosial keagamaan yang sudah lama eksis di Indonesia saja, seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi juga organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara itu, ”abangan” mereferensi kelompok masyarakat di luar santri, termasuk pemeluk Islam yang nonpartisan terhadap organisasi sosial keagamaan tertentu.

Heterogenitas komposisi penduduk DIY saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi parpol untuk menggarap pemilih Yogyakarta. Kemampuan memetakan konstituen dalam kantong-kantong santri dan abangan akan lebih memudahkan parpol dalam melakukan pendekatan yang efektif guna meraih suara konstituen pada Pemilu 2009.

(NURUL FATCHIATI)

Geliat "Santri Kota" di Wilayah "Abangan"

Peta DI Yogyakarta

MESKI Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan besar, berpangkal dari Yogyakarta, provinsi yang pertama bergabung dengan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan ini sejatinya adalah basis kaum nasionalis. Kekuatan politik kaum nasionalis patut mewaspadai kekuatan partai aliran keagamaan yang mulai meraih simpati konstituen Yogyakarta.

Kompetisi di antara parpol yang berhaluan nasionalis, komunis, dan Islam di DIY sebenarnya sudah terjadi sejak pemilu pertama digelar. Pada Pemilu 1955 itu, ketika DIY masih menjadi satu wilayah dengan Provinsi Jawa Tengah, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi perolehan suara di wilayah yang saat ini menjadi wilayah DIY. PNI menang mutlak di Kabupaten Kulon Progo serta menang tipis di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sedangkan PKI menang di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta.

Dilihat secara provinsi, pamor partai Islam saat itu masih relatif kecil, bahkan kalah oleh Grinda, sebuah gerakan politik kaum priayi/bangsawan di Yogyakarta yang meraih suara ketiga terbanyak. Partai Islam Masyumi yang tersohor itu hanya mampu meraih peringkat keempat.

Pada era pemilu berikutnya, kekuatan politik Golkar telah mampu menggiring suara bagi partai ”beringin” itu. Bahkan, sebelum fusi parpol diberlakukan tahun 1971, Golongan Karya yang mampu mendefinisikan dirinya dalam birokrasi mendapat suara terbanyak meski masih dibayang-bayangi perolehan Partai NU.

Seperti halnya ”nasib” mayoritas provinsi di Indonesia, sepanjang pemilu masa Orde Baru, Golkar menang mutlak di DIY. Namun, kemenangan parpol tersebut tak pernah lebih besar dari 71 persen. Sebagian pemilih yang berdomisili di Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta cenderung loyal berpihak pada partai nasionalis. Bahkan, perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari pemilu ke pemilu dalam kurun waktu 20 tahun (1977-1997) di dua wilayah tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Afiliasi keislaman


Pemilu langsung yang terselenggara tahun 1999 mengukuhkan citra wilayah ini sebagai basis nasionalis. PDI-P sebagai representasi dari parpol nasionalis menang mutlak di semua kabupaten/kota di DIY dan berhasil meloloskan 15 wakilnya di kursi DPRD provinsi. Selain bangkitnya pemilih nasionalis, pada saat yang sama basis-basis konstituen partai Islam rupanya turut berkembang. Kekuatan politik Islam tampak dari ”menyeruaknya” perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih tempat kedua dengan 17,27 persen suara, mengalahkan Golkar di tempat ketiga dan PKB di tempat keempat.

”Kemenangan” politik PAN dengan meraih tempat kedua dalam Pemilu 1999 menandai bangkitnya kekuatan politik yang berafiliasi kepada identitas keislaman. Meski parpol ini secara platform bersifat terbuka, tak terhindarkan terbentuknya afiliasi politik yang dekat dengan simbol keislaman, terutama gerakan Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta. Malah bisa dikatakan, PAN memiliki massa riil pendukung yang dikonstruksi dan terbentuk dari jumlah massa Muhammadiyah di wilayah ini.

Perolehan suara PAN dalam Pemilu 2004 mencapai 342.921 suara. Sedangkan dari proyeksi data pemilih Pemilu 2004, diperkirakan pemilih potensial PAN sebenarnya mencapai 544.325 jiwa lebih atau 1/7 jumlah penduduk.

”Orang Muhammadiyah memilih PAN bukan karena partai (kuasi) Islam. Bukan pula karena parpol itu berwatak plural. Orang Muhammadiyah memilih PAN semata karena parpol itu ’baju’-nya Muhammadiyah,” kata Sigit Pamungkas, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM.

Dengan habitat sosial semacam itu, tak heran, PAN yang sebenarnya ”pendatang baru” dalam percaturan politik di DIY dengan cepat meraih simpati konstituen. Terbukti, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul merupakan lumbung suara PAN pada tahun 1999. Di wilayah-wilayah itu PAN mengalahkan Golkar dan menduduki peringkat kedua di bawah PDI-P.

Sifat kelompok santri di DIY dalam berpolitik saat ini tak berbeda jauh dengan masa lalu. Kelompok ini relatif ”patuh” pada afiliasi keagamaannya meski tak selalu setuju dengan pandangan organisasi sosial keagamaan yang menjadi referensinya. ”Konstituen yang termasuk kaum santri di Yogyakarta cenderung ’manut’ atau mengikuti pilihan politik orang-orang yang punya komitmen sosioreligi sama,” kata Sigit Pamungkas.

Di lain pihak, pemilahan karakter pemilih pemilu Yogyakarta yang relatif terdidik dan melek informasi membuka pintu bagi kehadiran parpol kuasi agama seperti PAN. Partai kuasi menjadi partai ”alternatif” ketika baik konstituen Muslim maupun non-Muslim mendapati kekecewaan dengan parpol nasionalis, seperti PDI-P dan Golkar. Itu terbukti dari perolehan suara PAN dalam dua pemilu langsung (1999-2004) yang memang cenderung tetap (17 persen), sementara suara parpol-parpol nasionalis justru semakin turun.

Merosotnya perolehan suara parpol nasionalis dalam Pemilu 2004 menjadi fenomena tersendiri. PDI-P yang mengantongi sedikitnya 35 persen suara pada Pemilu 1999 menurun hampir 10 persen. Partai Golkar juga berkurang suaranya meski tak terlampau besar. Di sisi lain, perolehan suara parpol berbasis massa Islam yang direpresentasikan oleh PAN, PKB, dan PKS cenderung kokoh, bahkan meningkat. Apakah ini merupakan tanda mulai tergerogotinya kekuatan politik di basis kaum nasionalis?

Kultur nasionalis

Kedekatan sosiopolitik pemilih DIY pada ideologi nasionalis tak lepas dari peran Keraton Yogyakarta sebagai patron kultural dan sosok yang cenderung mengedepankan paradigma nasionalisme dalam berkomunikasi politik kepada rakyat Yogyakarta. Salah satu contoh konkret adalah penggabungan wilayah ini dengan ”bayi” negara RI pada masa kemerdekaan serta dukungan kuat Sultan Hamengku Buwono IX terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Arief Akhyat, pengajar Jurusan Sejarah UGM, nasionalisme terbentuk pula dari perjalanan sejarah sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Pascakemerdekaan, sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk DIY, terperangkap kemiskinan. Semakin jauh letak suatu kawasan dari Keraton Yogyakarta, semakin ”berjarak” pula kesejahteraan penduduknya dengan kemakmuran. Pada Pemilu 1955, kondisi yang demikian menjadi lahan garap potensial bagi PNI dan PKI yang menjunjung konsep marhaenisme dan keberpihakan kepada kaum papa, sebuah isu yang kini banyak digaungkan kembali oleh partai-partai nasionalis.

Di samping faktor penguat identitas nasionalis tersebut, posisi Yogyakarta sebagai kota ”pendatang” tempat bernaungnya berbagai institusi pendidikan memberikan perkembangan warna politik tersendiri yang cenderung dinamis bagi perubahan. Partai-partai mapan, seperti PDI-P dan Golkar, terpaksa berbagi suara pemilih dengan parpol nasionalis baru, seperti Partai Demokrat. Hal itu tampak dari perolehan Demokrat di DIY yang cukup berarti, sekitar 6 persen suara. Tampilnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono ke tampuk teratas pemerintahan agaknya menjadi penarik dukungan yang cukup efektif untuk menarik simpati pemilih partai-partai nasionalis tradisional.

Kian menyebarnya dukungan kaum nasionalis tradisional kepada Partai Demokrat maupun partai nasionalis-sekuler lainnya bisa jadi bakal makin menyurutkan pamor partai nasionalis mapan seperti PDI-P dan Golkar. Belum lagi kehadiran partai nasionalis baru seperti Gerindra dan Hanura yang gencar mempromosikan nilai-nilai keberpihakan kepada rakyat.

Selama dua pemilu terakhir (1999-2004), tampak proporsi perolehan parpol nasionalis dan Islam sebenarnya relatif tetap. Pada Pemilu 1999, pemilih parpol Islam di wilayah ini mencakup 44 persen, sedangkan pemilih partai nasionalis sekitar 56 persen. Komposisi ini terulang kembali dalam jumlah relatif sama pada Pemilu 2004. Artinya, pemilih nasional dan pemilih Islam relatif loyal kepada ideologi yang dianut, tetapi bisa jadi beralih ”baju” kepada partai lain, asalkan ideologinya sama.

Bersandar pada fakta hasil dua pemilu langsung dalam sepuluh tahun terakhir, diprediksi parpol yang mengusung ideologi nasionalis masih tetap eksis di DIY. Konstituen Yogyakarta yang sebagian besar ”abangan” menjadi segmen pangsa potensial bagi parpol-parpol nasionalis. Tiga parpol nasionalis yang bakal berkompetisi cukup ketat adalah PDI-P, Partai Golkar, dan Demokrat, selain partai baru seperti Gerindra dan Hanura. Namun, PAN, PKB, PKS, dan parpol berhaluan Islam lain juga potensial menjadi pilihan warga Yogyakarta. Tinggal kelincahan parpol memanfaatkan waktu menuju 9 April 2009, melimbang suara konstituen DIY yang masih mungkin bersulih.


(NURUL FATCHIATI/ Litbang Kompas)

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota membahas contoh surat suara DPD Provinsi Jawa Tengah, sebelum rapat kerja antara KPU dan KPU daerah se-Indonesia di Jakarta, Rabu (4/3). Rapat kerja ini untuk membahas segala persiapan menjelang pelaksanaan pemilu pada 9 April.

DIBANDINGKAN dengan daerah lain, wilayah DKI Jakarta memang relatif lebih siap menghadapi Pemilu 2009. Namun, tetap saja banyak hal yang perlu dipersiapkan dan diantisipasi oleh KPU, Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta, termasuk pemerintah setempat, agar Pemilu 2009 ini berjalan lancar.

Kesiapan para calon pemilih justru harus mendapat perhatian. Walau berbagai informasi tentang pemilu begitu cepat diakses, hal itu tidak berarti semua warga Jakarta, terutama calon pemilih, mengerti dan tahu persis proses pemilu.

Ambil contoh saja, soal memberi tanda pada kertas suara. Hingga kini masih banyak warga yang belum tahu, bahkan tidak bisa membedakan antara coblos dan contreng. Kata contreng pun masih terasa asing di telinga calon pemilih. ”Contreng itu kayak apa ya?” ujar Suradi, seorang tukang ojek di daerah Slipi, yang balik bertanya saat ditanyai soal contreng.

Minimnya sosialisasi pemilu diakui KPU DKI. Anggaran yang terbatas! Itulah persoalannya. KPU DKI dan kota-kota di Jakarta hanya mendapat Rp 60 juta. Dengan anggaran sebesar itu, KPU hanya bisa melakukan sosialisasi dengan cara membagikan stiker dan selebaran sederhana di kawasan strategis.

Sosialisasi dalam bentuk tatap muka pernah dilakukan November-Desember 2008. Kini fokus sosialisasi pada iklan di media massa.

Beberapa caleg memang berupaya sebisanya untuk menjelaskan tata cara pemungutan suara kepada masyarakat.

Kesuksesan pemilu juga ditentukan logistik. Di DKI, logistik yang sudah lengkap adalah segel dan tinta sidik jari, sedangkan surat suara baru 40 persen. Untuk tender logistik di tingkat provinsi, baru sebagian yang rampung. Tender bilik dan kotak suara sudah selesai dan petugas tinggal merakitnya. Formulir A3 untuk daftar pemilih tetap (DPT) yang akan didistribusikan ke TPS sedang dicetak, sedangkan formulir C untuk berita acara masih dilelang.

Untuk pelipatan surat suara, KPU kabupaten/kota akan mengerahkan PPK/PPS serta staf sekretariat.

Di Jakarta Timur ditemukansebanyak 300.000 surat suara salah mencantumkan nama partai politik. Saat ini surat suara itu sudah ditarik. Namun, surat suara pengganti belum dikirim.

DKI Jakarta memiliki 220 anggota PPK di 44 kecamatan dan 801 PPS di 267 kelurahan. Adapun petugas KPPS yang akan diangkat 9 Maret mencapai 119.336 orang untuk 17.048 TPS.

KPPS yang menjadi ujung tombak pemungutan dan penghitungan suara malah tidak mempunyai anggaran untuk bimbingan teknis. ”Kalaupun tidak ada bantuan, kami tetap akan adakan bimtek. Mungkin dengan mengumpulkan ketua-ketua KPPS supaya tata cara pemungutan dan penghitungan suara bisa disampaikan ke anggota KPPS lain,” tutur Dahliah.

Minimnya dukungan dana untuk operasional pemilu juga dikeluhkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta. Sejak dilantik Agustus 2008 lalu, Panwas baru dua kali terima honor. Itu pun terlambat.

Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah mengakui bahwa Panwaslu DKI pertama kali menerima honor pada akhir November 2008. Honor kedua baru diterima sepuluh hari yang lalu.

Hingga kini Panitia Pengawas Lapangan (PPL) sudah terbentuk sampai di tingkat kelurahan. Sekitar 400 lebih anggota PPL telah terjun ke lapangan.

Ramdansyah mengakui, gara-gara keterlambatan honor, personel Panwaslu yang tadinya begitu bersemangat bekerja belakangan mengendor semangatnya. Ada yang ”boikot” bekerja. Awalnya laporan yang masuk cepat, sekarang melambat. ”Bagaimana kami bisa optimal kalau beban pos operasi lebih besar dari pendapatan,” ujarnya.

Secara kelembagaan, Panwaslu memang tidak ada masalah, tetapi dukungan finansial dan birokrasi, khususnya dari Pemprov DKI Jakarta, dinilai masih minim.

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menyatakan sosialisasi merupakan persoalan yang dihadapi DKI Jakarta. Jika mengandalkan media, Jeirry pesimistis ada warga Jakarta yang hingga hari H nanti tak mengerti. ”Walau akses informasi bagus, di Jakarta banyak orang bingung karena wacana beredar dengan cepat,” katanya.

Untuk pengawasan, tidak mungkin hanya mengandalkan Panwaslu. Dengan keterbatasan Panwaslu, ia tidak yakin pengawasan berjalan optimal. ”Kewenangannya yang tidak penuh, membuat Panwaslu ibarat wasit yang bisa semprit, tetapi tidak bisa memberikan sanksi yang memberi efek jera,” paparnya.

Kini, waktu tinggal sebulan lagi. Siap tidak siap, mau tidak mau, pemilu segera tiba. Berpacu dengan waktu, dan mempersiapkan secara maksimal, serta meminimalkan kelemahan dan kekurangan, itulah yang kini jadi pekerjaan terberat KPU dan Panwaslu. Jakarta, ayo bersiap!

(Nina Susilo/ Sonya Hellen Sinombor)