Kamis, 21 Januari 2010

Nurul Roboh Tak Berdaya Tak Jauh dari Majikan yang Sedang Makan

Jumat, 22 Januari 2010 | 10:04 WIB
i
KUALA LUMPUR, KOMPAS.com — Seorang pembantu asal Indonesia, Nurul Aida, meninggal dunia ketika dibawa oleh agennya ke KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (21/1/2010) sekitar pukul 21.25, dan penyebab kematiannya sedang diselidiki pihak kepolisian.
  
"Nurul Aida dibawa ke Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur oleh tiga wanita warga Malaysia untuk mendapatkan perlindungan karena diduga korban disiksa majikan," kata seorang staf Satgas Pelayanan dan Perlindungan WNI di KBRI Kuala Lumpur, Satya,  Jumat dini hari.
   
Nurul dibawa tiga wanita Malaysia dari rumah majikannya di Melaka dengan menggunakan sebuah mobil. Ketiga wanita itu terdiri atas dua etnis China dan satu Melayu. Sebelumnya, Oktober 2009, pembantu Indonesia asal Jawa Timur,  Muntik, meninggal karena disiksa majikannya.
  
Berdasarkan keterangan Too, salah seoarang dari mereka, Nurul Aida ditemukan tergeletak di lantai dengan muka pucat. Sementara kedua majikannya sedang makan di meja makan tidak jauh dari Nurul yang sedang tergeletak tidak berdaya.
  
Saat itu Too datang ke rumah majikan Nurul. Melihat pembantu Indonesia itu dalam keadaan tergeletak dan muka pucat, Too kemudian meminta izin agar Nurul dibawanya pergi. Kedua majikan setuju asalkan tidak memanggil ambulans dan polisi, demikian keterangan Too kepada staf Satgas KBRI, Satya.
  
Atas bantuan anak majikan, Nurul diangkat ke mobil Too. Salah seorang teman Too, bekas perawat, juga ikut menjadi saksi. Too ternyata tidak membawa Nurul ke kantor polisi atau rumah sakit, tapi membawanya ke KBRI di Kuala Lumpur. Waktu tempuh antara Melaka dan Kuala Lumpur menggunakan mobil adalah dua jam.

Dalam perjalanan
  
Diduga dalam perjalanan Nurul meninggal dunia.  "Menurut pengakuan Too dan kawannya, karena sudah menimbulkan bau tak sedap, Nurul dipindahkan dari kursi mobil ke bagasi, tetapi sudah diberikan alas dan selimut," kata Satya.
  
"Setelah tiba di Kedutaan dan diterima petugas piket, saya meminta Too membawa jenazah Nurul ke Hospital Kuala Lumpur, di mana rumah sakit itu juga ada kantor polisinya, untuk diotopsi dan dibuatkan laporan polisi setelah konsultasi dengan wakil kepala polisi Melaka," kata Satya.
  
"Terus, kepolisian Melaka marah besar kenapa ada kejadian ini dibawa ke Kedutaan, bukannya ke kantor polisi atau ke rumah sakit," kata Satya setelah konsultasi dengan kepolisian Melaka dan Kuala Lumpur.
  
Oleh sebab itu, Too dan seorang kawannya, yang semula berniat membantu Nurul, kini dijadikan tersangka pembunuhan dan ditahan seminggu untuk dimintai keterangan oleh kepolisian Kuala Lumpur.
   
Setelah ditanya kepolisian, barulah diketahui bahwa Too ternyata pemasok pembantu individual (perseorangan), bukan sebuah perusahaan agen resmi. Ia memberikan Nurul Aida kepada seorang majikan India untuk dijadikan pekerja di restoran.
    
"Karena Aida datang sebagai pelancong di Malaysia dan belum ada izin kerja, maka Too sering mengontrol Nurul. Saat datang ke majikan Nurul, Kamis sore, ternyata dia tergeletak di lantai dengan muka pucat dan biru, sedangkan majikannya malah asyik makan," kata Satya berdasarkan cerita Too.
   
Sebagai pemasok pembantu, Too memegang paspor Nurul Aida. Berdasarkan paspor itu, Nurul masuk ke Malaysia pada 1 Februari 2009 sebagai turis (pelancong). Paspor dikeluarkan dari Tanjung Balai Asahan pada 23 Januari 2009.
  
"Harusnya Nurul keluar Malaysia pada 28 Maret 2009, jadi kini status dia adalah pendatang ilegal karena overstay," kata Galuh, seorang staf Satgas KBRI, yang mendampingi Satya.

Indeks Pendidikan Naik Urutan Indonesia Masih Ke-65 di Dunia

Jumat, 22 Januari 2010 | 04:48 WIB
Jakarta, Kompas - Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia membaik. Meskipun masih berada dalam kategori negara dengan pencapaian sedang, posisi Indonesia semakin dekat untuk bisa masuk dalam kategori pencapaian tinggi.
Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2010 yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan Selasa (19/1) kemarin, EDI Indonesia tahun 2007 adalah 0,947. Nilai itu naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 0,925.
Indonesia pada saat ini berada di urutan ke-65 dari 128 negara. Sebanyak 62 negara berada dalam kategori pencapaian tinggi, di antaranya Brunei. Sebanyak 36 negara di kategori sedang, di antaranya Indonesia, Malaysia (69), dan Filipina (85). Sisanya masuk dalam kategori rendah, seperti India, Kamboja, Laos, dan Nigeria.
Tiap tahun
Global Monitoring Report dikeluarkan setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia. Indeks pendidikan tersebut dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.
Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar.
Meskipun pencapaian EDI di banyak negara semakin membaik, diingatkan supaya tetap fokus untuk menjangkau anak- anak marginal. Terjadinya krisis ekonomi global dikhawatirkan semakin sulit bagi anak-anak marginal untuk mengakses pendidikan.
Anak-anak marginal adalah mereka yang menjadi korban dari kemiskinan, hidup di daerah terpencil dan konflik, serta mengalami diskriminasi etnis, bahasa, kemampuan, dan penyakit.
Implikasi luas
Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, mengingatkan kemunduran dalam bidang pendidikan berimplikasi luas dalam kehidupan. Pendidikan yang rendah akan menimbulkan persoalan pertumbuhan ekonomi yang rendah, kemiskinan, kesehatan, serta bidang lainnya.
Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR, mengatakan, meskipun berdasarkan data yang dilansir pemerintah, pencapaian pendidikan dasar sudah selesai, nyatanya di jalanan kota-kota besar masih banyak anak usia wajib belajar yang tidak berada di bangku sekolah saat jam belajar.
”Kita tidak mau berdebat soal data yang tercapai. Tetapi, kita ingin melihat semua anak, tanpa terkecuali, berada di sekolah saat jam belajar. Ini tugas pemerintah untuk menjamin tidak ada anak usia belajar yang tidak bisa mengenyam pendidikan,” kata Ferdiansyah.
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh diskriminatif. Pemerintah terus bekerja untuk mengatasi hambatan anak-anak belajar dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. (ELN)

PLURALISME Ide-ide Keberagaman

Jakarta, Kompas - Pascameninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, semangat keberagaman dalam menjalankan agama dan kepercayaan tidak boleh berhenti. Masyarakat, juga kalangan media massa, harus terus mendorong keberagaman dengan mengembangkan ide-ide toleransi untuk kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.
Hal itu dikemukakan tokoh muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla, Kamis (21/1), pada diskusi ”Prospek Demokrasi dan Kebebasan 2010” menandai peluncuran Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta Media Center.
Diskusi ini juga menghadirkan pembicara Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy M Bayuni.
Ulil Abshar Abdalla menyatakan, Gus Dur sebagai bapak pluralisme di Indonesia tentu tidak ingin keberagaman yang dirintisnya itu kandas. Kepergian Gus Dur justru harus menjadi tantangan bagi pejuang keberagaman tetap menghidupkan semangat tersebut.
Pascafatwa haram Majelis Ulama Indonesia mengenai pluralisme (termasuk liberalisme dan sekularisme agama) pada 2005, perjuangan keberagaman itu terkesan meredup. Kalangan pengelola media massa juga cenderung melakukan sensor internal setiap kali melansir pemberitaan soal keberagaman.
Terkait upaya untuk terus menghidupkan ide-ide keberagaman, lanjut Ulil, apakah mungkin di masyarakat juga dibentuk semacam otoritas yang melegitimasi perlunya keberagaman. Nurcholish Madjid, misalnya, adalah tokoh yang memiliki otoritas yang perkataannya bisa semacam fatwa.
Siti Musdah Mulia mengemukakan, aspek penting bagi komunitas keagamaan adalah berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama, termasuk di dalamnya hak kemandirian mengatur organisasi.
Kebebasan menjalankan agama seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan itu pun demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik. ”Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama tanpa membedakan suku, bahasa, agama, keyakinan, politik, ataupun asal- usulnya,” kata Siti Musdah Mulia.
Bagi Endy M Bayuni, dalam 11 tahun reformasi ini, diakui, banyak memberikan kemajuan terhadap kebebasan seiring dengan berkembangnya revolusi teknologi informasi. (WHO)