Oleh: Indy Hardono
KOMPAS.com
Pada zaman Hindia Belanda,
para pelajar di Algemene Middelbare School (AMS) yang setara dengan
Sekolah Menengah Umum (SMU) sekarang diwajibkan untuk membaca. Siswa
diminta melahap paling tidak 20 sampai 25 buku karya sastra selama tiga
tahun masa studi mereka. Kegiatan membaca biasanya diikuti dengan menulis karangan setiap
minggunya. Dapat dibayangkan banyaknya tulisan yang dihasillkan oleh
setiap pelajar selama kurun waktu tiga tahun tersebut. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, dan Ali Sosroamidjoyo
adalah produk pendidikan tersebut. Sejarah juga mencatat banyak buku dan
tulisan dahsyat dari para tokoh itu yang kemudian mengubah nasib bangsa
ini. Sebutlah Di Bawah Bendera Revolusi karangan Soekarno. Buku ini berisi semua pemikiran brilian sang proklamator, terutama pada masa pra-kemerdekaan. Juga Bung Hatta, si kutu buku, yang dengan pledoi terkenalnya “Indonesie Vrij” – Indonesia Merdeka. Hatta menulis itu dari balik tembok penjara di Belanda saat ditahan Pemerintah Hindia Belanda pada masa studinya.
Nilai universal
Situasi yang ada sekarang sangat berbeda. Sastrawan Taufik Ismail
pernah melakukan riset tentang kewajiban membaca buku sastra di beberapa
negara di kalangan pelajar setingkat SMU selama tiga tahun masa studi
mereka. Hasil risetnya menunjukkan, para pelajar SMU di Jerman wajib membaca 32 buku sastra, di Belanda 30 buku, di Amerika Serikat sebanyak 25 buku, di Jepang 12 buku, di Singapura 6 buku, di Malaysia 6 buku, dan di Indonesia nol! Hal itu sudah berlangsung lebih dari 60 tahun dan tidak ada yang "panik". Tragedi nol buku! Suatu kemunduran yang mengerikan.
Lalu, apa hubungannya dengan situasi bangsa? Apakah berarti kita
ingin menjadikan semua anak di negeri ini menjadi sastrawan? Bukannya
negeri ini konon membutuhkan lebih banyak insinyur, ahli hukum, dan
tenaga medis?
Membaca bukan sekedar untuk mengerti arti kata, arti kalimat dan
jalan cerita sebuah kisah. Membaca yang benar bukan sekedar kegiatan
kognitif. Membaca bukan sekedar untuk ngerti dansekedar tahu. Membaca itu untuk mengolah rasa, mengasah kepekaan, serta membangkitkan kesadaran.
JK Rowling, salah satu penulis tersukses abad ini, mengatakan bahwa salah satu buku favoritnya adalah Macbeth karya pujangga terkenal Willian Shakespeare. Selain itu, Rowling juga menggilai buku-buku politik tentang Abraham Lincoln. Genre buku yang ditulis Rowling sangat berbeda dengan karya besar Shakespeare. Kita pun sulit membayangkan irisan antara Harry Potter,
si karakter utama di buku karangannya dengan Abraham Lincoln si bapak
bangsa Amerika, jika kita hanya melihat dari permukaan saja. Namun, itulah kekuatan membaca! Tak ada batasan genre dalam buku,
tidak ada batasan ideologi dalam buku, tidak ada batasan zaman dalam
buku.
Membaca novel Harry Potter sama nilainya dengan membaca Little Women karya Louisa May Alcott atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka atau Filosofi Kopi milik Dewi Lestari. Ya, karya sastra adalah tulisan paling paripurna. Di dalamnya ada
rasa, penghayatan dan juga fakta kehidupan. Di dalamnya ada totalitas
dan jiwa sang penulis. Itu yang tidak didapat dari buku referensi atau
buku pelajaran biasa. Membaca dengan totalitas akan menghasilkan tulisan
dengan totalitas pula.
Mungkin, jika Hatta dulu tidak dijejali
dengan karya-karya sastra, maka ia hanya akan menjadi seorang ahli
ekonomi, bukan proklamator! Boleh jadi, dia mendapatkan gelora cinta
tanah air dan kesadaran untuk memerdekakan rakyat terjajah dari
buku-buku sastra yang dibacanya.
Buku adalah universal. Ia hanya
mengenal imajinasi, kreatifitas, dan rasa ingin tahu. Kekuatan "sihir"
dari buku juga dapat mengubah orang memiliki wawasan lebih luas dan
cita-cita, serta berorientasi pada penyelesaian masalah (action).
Membaca adalah kegiatan kognitif, afektif sekaligus psikomotorik.
Memupuk budaya baca
Apa ciri suatu bangsa sudah memiliki budaya baca yang baik? Banyak sekali fenomena sehari-hari yang dapat menunjukkan hal itu. Sebutlah misalnya, apakah bangsa tersebut lebih bangga memiliki
gedung pencakar langit tertinggi di dunia dan mal terbesar di Asia, atau
lebih bangga memiliki toko buku terindah di dunia?
Maastricht, salah satu kota di Belanda,
memiliki sebuah toko buku sekaligus perpustakaan yang merupakan salah
satu toko buku terindah di dunia. Selexyz Dominicanen adalah sebuah
gereja abad ke-13 yang pernah dijadikan hanya sebagai gudang arsip dan
tempat parkir sepeda, dan kini dialih fungsikan menjadi kebanggaan dan
ikon kota cantik di bagian selatan negeri kincir angin itu. Bandingkan dengan rumah-rumah retro yang cantik di sepanjang jalan
Dago di Bandung. Tak satu pun yang menjadikannya sebagai toko buku atau
perpustakaan. Bangunan nan anggun itu harus "rela" hanya dijadikan factory outlet atau warung batagor.
Membaca tidak cukup dijadikan ajakan atau himbauan. Membaca harus
menjadi kewajiban. Jika perlu dikembangkan kurikulum pendidikan nasional
berbasis membaca.
Kewajiban membaca bagi siswa adalah membaca dalam pengertian lengkap. Bukan sekedar menghafal siapa nama penulis buku Layar Terkembang atau siapa tokoh antagonis dalam buku Siti Nurbaya. Tapi, membaca yang mampu mengasah rasa, menumbuhkan nilai-nilai dan membangun karakter.
Membangun kecintaan pada membaca bukanlah pekerjaan satu malam dan tanggung jawab sekolah saja. It takes a village! JK Rowling mengatakan:"Kalau kamu belum suka membaca, kamu hanya belum menemukan buku yang tepat."
Jadi, jangan menyerah, teruslah pupuk minat membaca!
Bangsa yang membaca
Bangsa yang membaca
"Iqra! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” Iqra, dari kata dasar qara’a atau menghimpun. Inilah wahyu pertama sekaligus kunci dari kehidupan dan peradaban. Membaca bukan sekedar literasi aksara. Membaca adalah menelaah, mendalami, meneliti, dan menyampaikan. Bangsa yang membaca akan lebih bijak, karena ia memilki banyak jendela untuk memandang masalah dari berbagai sudut.
Bangsa yang membaca adalah bangsa yang mencari solusi dengan melihat
ke dalam (inward looking) dan bukan sibuk berteriak menghujat pihak lain
sebelum melihat kepada dirinya sendiri. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang terstruktur cara berpikirnya,
karena membaca buku fiksi maupun nonfiksi sama-sama menstimulasi kerja
otak. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang ‘tenang’, tidak grasak-grusuk.
Karena membaca membutuhkan ‘ruang tenang’ baik itu di perpustakaan,
maupun di bis atau kereta komuter yang padat penumpang sekalipun. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang memiliki kepekaan dan
kesadaran. Kesadaran terhadap dirinya, kekuatan dan kelemahannya dan
kepekaan terhadap sekelilingnya. Bangsa yang membaca tidak mudah
menyebar hoax ke berbagai media sosial, tidak membuang waktu berdebat untuk hal yang tidak jelas dasarnya. Bangsa yang membaca memiliki lisan yang santun, runut dan kental
karena merupakan hasil dari menghimpun, mengamati, merenungkan, dan
merefleksikan apa yang dilihat, dan dirasakan.
Buku adalah tentang peradaban. Hanya bangsa yang membaca yang
memiliki karakter dan peradaban tinggi. Bangsa yang tidak membaca lambat
laun akan tersingkir dari peradaban. Ya, bangsa yang membaca adalah bangsa yang merdeka...
http://edukasi.kompas.com/read/2017/03/17/0916462/bangsa.yang. berkarakter.adalah.bangsa. yang. membaca.