Hadi Wahono
Secara sederhana negara kesejahteraan
(welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan yang menitik
beratkan pada mementingkan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara
kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat,
tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan
kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat
kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan
kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan
yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan
dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan
mulai dari rasa ketidak berdayaan masyarakat miskin, hingga berdampak buruk
pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menerima suap (menjual
suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang
banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa kali pemilihan umum dan
pemilihan kepala daerah. Bahkan adanya rasa frustrasi orang miskin akan mudah
disulut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkhis, yang berakibat kontra
produktif bagi perkembangan demokrasi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan
tersebut, maka dikembangkan konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang
merupakan sistem kenegaraan yang mengupayakan untuk memperkecil jurang pemisah
antara mereka yang kaya dengan yang miskin melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan
warganegaranya. Ada lima prinsip penting yang merupakan prinsip yang mendasari
(dan sekaligus menjadi ciri) suatu sistem negara kesejahteraan, yang karena itu
harus diupayakan untuk diwujudnyatakan oleh negara yang menganut system Negara kesejahteraan
dalam rangka upayanya untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan warganegaranya. Yang pertama, cabang produksi yang
penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Tujuan
penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi kehidupan rakyat banyak
adalah agar kebutuhan rakyat atas produksi barang yang bersangkutan dapat
diperoleh oleh rakyat dengan harga yang terjangkau, tidak memberatkan kehidupan
rakyat. Contoh cabang produksi yang penting bagi kepentingan rakyat paling
tidak adalah listrik, gas dan minyak bumi, air bersih, dan angkutan umum murah.
Yang kedua, usaha-usaha swasta diluar
cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan,
tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau
oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan
kesejahteraan rakyat. Yang ketiga, negara terlibat langsung dalam usaha-usaha
kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk
pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan. Berbagai pelayanan tersebut,
dengan berbagai sistem yang diterapkan, harus dapat dijangkau oleh semua orang
tanpa kecuali. Tentu saja, jumlah jenis-jenis pelayanan yang harus disediakan oleh
negara bergantung pada perkembangan kemampuan negara, tetapi kedua jenis
pelayanan tersebut (kesehatan dan pendidikan) merupakan keharusan yang tidak
dapat ditinggalkan. Disamping itu, negara juga menyediakan jaminan sosial dan
jaminan hari tua bagi setiap warganegaranya. Bahkan, banyak pemikir dan praktek
kenegaraan yang menganut sistem negara kesejahteraan memandang bahwa peran
negara didalam memberikan pelayanan kesejahteraan warganegaranya harus meliputi
kehidupan rakyat “sejak dari buaian hingga liang kubur” (from cradle to the
grave). Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah, walaupun dalam sistem negara
kesejahteraan selain cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan
negara juga menyediakan berbagai pelayanan bagi kepentingan rakyatnya, terutama
pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan, dan bisa jadi juga angkutan umum
murah, penyediaan beras murah, pupuk murah, tetapi bersamaan dengan itu
usaha-usaha swasta juga diperbolehkan. Karena itu, dalam negara kesejahteraan, rakyat dapat memilih
untuk memperoleh pelayanan dari pihak mana. Mereka yang mampu tidak dilarang
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dari swasta yang mungkin
biayanya sangat mahal, tetapi mereka pandang lebih baik. Yang keempat,
mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan
pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang
semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar. Dengan melalui sistem
perpajakan dan sistem jaminan yang dikembangkan oleh negara, diharapkan
perbedaan antara mereka yang kaya dan miskin didalam negara yang bersangkutan
akan berkurang, dan orang miskin juga akan berkurang. Prinsip yang kelima,
pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara demokratis. Ini artinya,
negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya.
Namun demikian, karena dalam konsep negara
kesejahteraan mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan
rakyatnya, maka akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki
sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan
sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, negara
kesejahteraan akan menjadi negara raksasa dengan jumlah birokrat yang sangat
banyak dan sekaligus menggurita, dimana tangan-tangannya yang tak terhitung
jumlahnya memasuki banyak segi kehidupan masyarakat. Akibatnya timbul masalah
pengendalian dan kontrol oleh rakyat.
Dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem
demokrasi negara modern, permasalahannya akan semakin rumit dengan adanya
kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan negara modern sudah sedemikian
kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan banyak bagian
yang (khususnya dinegara-negara maju) dikelola oleh orang-orang profesional
yang memiliki spesialisasi keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya
masing-masing. Permasalahan yang muncul sehubungan dengan meraksasanya,
mengguritanya, dan semakin kompleksnya
cara kerja pemerintahan negara modern, pertanyaannya, apakah rakyat
masih memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan pemerintah atau elit
penguasa yang memegang kekuasaan pemerintahan? Banyak ahli yang meragukan
kemampuan rakyat, bukan saja untuk terlibat didalam pemerintahan secara
langsung atau mengendalikannya (dari jarak jauh), bahkan sudah sangat sulit
untuk hanya sekedar memilih wakil, melakukan pengawasan atas bekerjanya
pemerintah, dan melakukan penilaian atas apa yang telah dilakukan oleh wakil
yang mereka pilih. Dalam keadaan demikian, nampaknya pernyataan rousseau
mengenai kelemahan sistem demokrasi perwakilan di Inggris layak untuk dikutip disini dan tampaknya berlaku untuk semua
sistem demokrasi negara modern:
Orang Inggris percaya bahwa mereka adalah orang-orang
bebas; mereka sungguh-sungguh salah, karena mereka hanya bebas selama pemilihan
anggota-anggota parlemen, dan didalam waktu diantara dua masa pemilihan
tersebut, rakyat berada dalam perbudakan, mereka tak berarti apa-apa. Dalam
masa pendek dari kebebasan mereka, orang-orang Inggris menggunakannya sedemikian
rupa sehingga mereka memang patut untuk kehilangan kebebasan mereka (Rousseau,
1974: 79)
Kondisi ini merupakan dilema sulit bagi
negara demokrasi modern yang menganut sistem negara kesejahteraan
(welfarestate). Membiarkan pasar bekerja sendiri dalam mengatur ekonomi dan
masalah kesejahteraan rakyat akan bisa menimbulkan ketidak adilan sosial, yang
akibatnya bukan hanya negara secara moral akan kehilangan keabsahannya, tetapi
juga dapat menimbulkan pemberontakan dan anarkhi yang akan menghancurkan negara
itu sendiri. Sementara itu, dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem
demokrasi negara modern, dengan adanya kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan
negara modern sudah sedemikian merambah pada banyak segi kehidupan manusia
(rakyatnya) sehingga merupakan pemerintahan yang sangat besar, yang urusannya
sedemikian kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan
banyak bagian yang membutuhkan pengelolan oleh orang-orang yang mempunyai
pengetahuan khusus, oleh orang-orang profesional yang memiliki spesialisasi
keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing, maka layak
dipertanyakan, apakah sistem demokrasi yang secara harafiahnya berarti
pemerintahan rakyat, masih merupakan sistem yang feasible untuk dipraktekkan,
terutama di Negara demokrasi yang menganut system Negara kesejahteraan?
Mengembangkan pemerintahan yang ruang lingkup pekerjaannya mencakup wilayah
luas yang meliputi sangat amat banyak segi kehidupan rakyat apakah tidak
berarti akan semakin menyulitkan bekerjanya sistem demokrasi? bahkan dalam negara demikian, layak diragukan
apakah demokrasi sesungguhnya masih ada? Tampaknya, membangun keseimbangan
antara peran negara dalam membangun kesejahteraan rakyat dan kesempatan rakyat
untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan negara merupakan masalah mendesak
bagi masyarakat demokrasi modern.
Ada dua alasan untuk mempertahankan dan
mengembangkan sistem negara kesejahteraan (welfarestate), yang merupakan negara
yang ikut campur tangan dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, tetapi yang
sekaligus tetap mempertahankan sistem demokrasi semaksimal mungkin. Yang
pertama, walaupun perkembangan negara kesejahteraan atau paling tidak
terlibatnya negara didalam berbagai segi kehidupan masyarakat berakibat semakin
membesarnya pemerintahan (dan birokrasi) negara dan semakin kompleksnya urusan
pemerintahan, yang bisa mengakibatkan keterlibatan rakyat didalam pemerintahan
akan semakin mengalami kesulitan (bahkan untuk mengawasi berjalannya
pemerintahan atau memilih wakil mereka yang akan duduk diparlemen sekalipun, tak
lepas dari banyak kesulitan), tetapi kenyataan semakin meluasnya urusan
pemerintah dalam negara-negara modern tampaknya tidak terhindarkan lagi.
Pemerintahan negara modern memasuki sebagian besar kehidupan masyarakat, mulai
dari masalah Internasional, masalah nuklir, pertahanan keamanan, kesejahteraan
hingga mengurusi apakah anda telah mengasuh anak anda dengan benar atau belum.
Dalam masyarakat massal yang baru,
peranan pemerintah – yang merupakan sekumpulan lembaga yang memegang monopoli
penggunaan kekuatan terorganisir untuk urusan-urusan dalam dan luar negeri –
terpaksa berobah. Negara selaku masyarakat politik yang terorganisir memerlukan
suatu tingkat kestabilan tertentu dalam system sosialnya untuk mempertahankan
keseimbangannya. Untuk mencapai hal ini, tidak hanya diperlukan penyesuaian
satu sama lain dari tuntutan-tuntutan yang berlawanan, yang dimajukan oleh
bermacam-macam kelompok dalam tata social
dan tata ekonomi yang baru, tetapi juga diperlukan penciptaan secara
terarah dari kondisi-kondisi kesejahteraan social yang dituntut oleh doktrin
persamaan yang baru. Dengan demikian pemerintah sebagai alat negara, makin lama
makin dipaksa untuk menerima tanggung-jawab positif atas penciptaan dan
distribusi kekayaan. Dengan cara demikian, pemerintah hampir diseluruh dunia,
telah menjadi pemerintah besar, baik dalam ruang lingkupnya, maupun dalam
jumlah pegawai yang diperlukan untuk mengembangkan tanggung jawabnya Namun
demikian, bersamaan dengan meningkatnya jumlah pegawai negeri, berarti juga
semakin meningkatnya jumlah orang (para pegawai tersebut) yang dapat menjadi
korban penekanan sesuatu rezim yang bersifat sewenang-wenang (Gwendolen M.
Carter dalam: Miriam Budiardjo, 1982: 78 – 79).
Di Amerika
Serikat, dimana gagasan bahwa pemerintah seharusnya hanya merupakan wasit yang
menerapkan aturan-aturan diantara kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya yang
saling bersaing, pendukungnya lebih banyak daripada di Inggris dan perancis –
merekapun ternyata menyetujui adanya aktivitas-aktivitas pemerintah seperti
TVA, pengawasan kredit, ataupun campur tangan langsung dari pemerintah untuk
mengatasi soal-soal modernisasi seperti fasilitas dan pengangkutan di daerah
perkotaan yang luas dan untuk menyingkirkan apa yang disebut kemiskinan
ditengah-tengah kemakmuran. (Miriam Budiardjo, 1982: 75 – 76).
Pertumbuhan
kearah pemerintahan raksasa tersebut terus berlanjut seolah-olah tak dapat
dihentikan, dan tak ada orang yang ingin untuk menghentikannya. Hal ini mulai
berlangsung ketika Amerika Serikat telah berubah melalui perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi, pemerintah telah berubah sejalan
dengan perubahan tersebut. Pemerintah telah meluas dan tumbuh menjadi lebih
kompleks, pemerintah diminta untuk melaksanakan tugas yang semakin lama semakin
banyak.
Pemerintah
dapat mempengaruhi kehidupan pelajar atau warganegara yang lain dengan mengirim
mereka keluar negeri untuk berperang, atau melancarkan serangan nuklir, dimana
mereka mungkin akan terbunuh. Yang kurang jelas, mungkin, adalah cara dimana
pemerintah memasuki banyak segi kehidupan keseharian, yang kadang-kadang hingga
detail pada yang pernik-pernik. Sebagai contoh, pemerintah federal mengatur
jumlah (luasan) yang harus dicakup oleh kipas kaca mobil (wiper) dan bahkan
kecepatan dari kipas kaca tersebut (dalam kondisi cepat, kipas kaca harus
berjalan dengan kecepatan paling tidak 45 putaran per-menit) (Cummings and
Wise, 1985: 9).
Perkembangan demikian merupakan perkembangan
masyarakat modern. Seabad yang lalu, pemerintahan federal tidak menyediakan
jaminan sosial, asuransi kesehatan untuk berjuta-juta warganegaranya, bantuan
yang luas pada lembaga pendidikan negeri maupun swasta, atau bermilyar-milyar
dolar untuk pembiayaan kesejahteraan. Juga tak ada satupun lembaga yang diatur
secara independen untuk mengamati berbagai-bagai golongan ekonomi dalam
masyarakat.
Ketika
masyarakat Amerika telah tumbuh semakin kompleks, ketika penduduk telah
meningkat, tugas pengelolaan pemerintahan nasional telah membesar. Rakyat
menuntut pelayanan yang lebih dan dalam prosesnya pemerintah tumbuh semakin
besar. Lima kementerian departemen – Perumahan dan Pembangunan Perkotaan;
Tranportasi; Energi; Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat; dan Pendidikan – baru dibentuk sejak
tahun 1950-an.
Kekuasaan
untuk menarik pajak dan membelanjakannya untuk kesejahteraan umum merupakan
fungsi dari pemerintahan nasional yang telah meluas dengan sangat luar biasa
pada abad keduapuluh. Peran pemerintah didalam masalah perdagangan antar negara
bagian dan luar negeri juga telah meningkat secara luas.
Kebanyakan
dari pertumbuhan pemerintahan besar dan program kesejahteraan sosial federal
berlangsung selama “New Deal” dalam tahun 1930-an dan selama program “Great
Society” dari presiden Lyndon Johnson dalam tahun 1960. Walaupun kalangan
konservatif secara periodik menyerang program-program tersebut sebagai
“merangkak kearah sosialisme,” program-program besar sedemikian jauh terus
dibentuk sehingga tak ada pemerintahan di Washington yang mungkin akan mampu
untuk menghapuskannya.
Namun
demikian, presiden reagan yang mulai menduduki jabatan pada tahun 1981
bersikeras untuk melakukan hal itu. Ia bersikeras untuk melakukan pemotongan
yang berarti pada pengeluaran federal didalam bidang kesejahteraan sosial. Dia
telah mengulangi dengan berjanji untuk melakukan hal itu didalam kampanyenya
untuk menduduki kursi kepresidenan yang kedua kalinya.
Sebagaimana
diketahui, Ronald Reagan terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya pada
tahun 1980 berdasarkan janjinya untuk mengurangi jangkauan dan ruang lingkup
pemerintah federal dalam kehidupan keseharian rakyat Amerika Serikat, bersamaan
dengan itu akan meningkatkan kekuatan militer Amerika Serikat dan memotong
pajak.
Dalam masa
empat tahun pertama Reagan menjadi presiden, program kesejahteraan telah
dipotong, bersamaan dengan pajak penghasilan; dan anggaran pertahanan telah
meningkat. Tetapi prosentase dan jumlah orang yang hidup didalam kemiskinan
juga telah meningkat, dan anehnya anggaran federal telah
meningkat pada tingkatan yang belum pernah terjadi
Didalam
pidato pelantikannya sebagai presiden yang kedua pada bulan Januari tahun 1985,
Ronald Reagan menekankan tema yang sudah sangat dikenal yang membantu
mengembalikannya dan partainya ke gedung putih:
“ ............ ini akan menjadi tahun dimana Amerika
telah memperbaiki percaya dirinya dan tradisi kemajuannya; ketika nilai
keyakinan, keluarga, kerja, dan lingkungan masyarakat diungkapnyatakan kembali
untuk masa modern; ketika ekonomi kita pada akhirnya dibebaskan dari genggaman
pemerintah (Cummings and Wise, 1985: 3).
Didalam
tahun 1984, beberapa pendukung Reagan melihat kemenangan pemilihannya yang
sangat besar sebagai sebuah mandat untuk melaksanakan kebijakan konservatifnya,
sementara analis yang lain menterjemahkan kembalinya kegedung putih lebih
sebagai pencerminan dari popularitas pribadi Reagan (Cummings and Wise, 1985:
7).
Pemerintahan
Reagan telah menyatakan memotong bermilyar-milyar dolar untuk pengeluaran dalam
negeri, dalam kesejahteraan sosial dan program-program pangan yang dirancang
untuk membantu kaum miskin, maupun didalam cakupan yang luas dari
program-program yang lain yang ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga berpenghasilan rendah, termasuk
bantuan kesehatan (medicaid), subsidi perumahan, dan pinjaman bagi pelajar.
Keseluruhan pemotongan pengeluaran ini dikenal secara populer sebagai “revolusi
Reagan.”
Tetapi
seberapa besar pengurangan didalam pengeluaran dalam negeri? Pemerintah
menyatakan bahwa mereka telah mengurangi program dalam negeri federal hingga
232 milyar dolar selama empat tahun, dibandingkan dengan pengeluaran yang
diproyeksikan oleh pemerintahan Demokrat sebelumnya. Tetapi didalam perdebatan
publik atas pemotongan anggaran, telah terjadi “kebingungan mengenai kepastian
apa yang sesungguhnya telah dicapai.” Sebagian, hal ini disebabkan karena
pengeluaran federal sesungguhnya meningkat didalam banyak program yang oleh
pemerintahan Reagan dinyatakan telah dipotong. Dalam kebanyakan kasus,
“pemotongan” merupakan pengurangan atas apa yang mungkin telah dikeluarkan.
Namun demikian, program reagan telah mempunyai pengaruh yang dapat diukur
mengenai pengeluaran pemerintah dan mengenai out-put dari sustem politik.
Sebagaimana satu kajian telah menyatakan, “Ada satu hal yang tak dapat
diragukan mengenai akibat penting dari kebijakan
pemerintahan Reagan, yaitu: penghasilan di Amerika Serikat akan didistribusikan
secara lebih tidak merata antara yang kaya dan yang miskin dibandingkan dengan
sebelumnya.”
Peran pemerintah federal, khususnya
dalam bidang program kesejahteraan sosial, kemungkinan akan berlanjut sebagai
perdebatan di Amerika Serikat, sebagaimana yang terjadi pada kampanye pemilihan
presiden pada tahun 1984. Walaupun pemerintahan tertentu mungkin mengurangi
bagian dari roti yang dialokasikan untuk program-program sosial, tetapi roti
itu sendiri – yaitu anggaran federal – tetap saja tumbuh terus. Kebanyakan
orang Amerika masih cenderung untuk melihat pada pemerintah nasional untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan nasional. Pada akhirnya, tampaknya tak
terhindarkan lagi, pemerintahan negara modern akan semakin tumbuh sebagai
pemerintahan raksasa yang jangkauan wilayah kerjanya sedemikian luas dan
cakupan ruang lingkup bidang kerjanya juga sangat luas sehingga menyerupai
“Leviathan”-nya Thomas Hobbes, sebagai monster raksasa yang menakutkan, tetapi yang sekaligus dibutuhkan.
Alasan yang kedua, dari pengalaman
negara-negara demokratis yang mempraktekkan sistem negara kesejahteraan, pada
kenyataannya, kondisi nyatanya tidak selalu harus seburuk itu. Pengalaman
banyak negara-negara Eropa Barat yang menganut sistem negara kesejahteraan
(welfare state) menunjukkan kemampuan mereka untuk menjaga keseimbangan antara
peran negara dalam bidang ekonomi yang sangat besar dengan demokrasi (walaupun
bersifat elitis). Inggris misalnya, sejak masa pemerintahan Perdana Menteri
Clement Ettlee dari partai buruh yang memenangkan pemilihan umum pada tahun
1945, menganut sistem negara kesejahteraan dengan manasionalisasi hampir semua
alat produksi seperti transportasi, batu bara, listrik, dan air serta
memberikan pelayanan sosial terutama dibidang kesehatan. Ternyata kebijakan
yang sudah dilaksanakan oleh Perdana Menteri Clement Ettlee tersebut tidak
pernah lagi dirobah oleh pengganti-penggantinya, dari manapun asal partai
mereka, kecuali pada masa Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang sebagai
akibat resesi mengurangi beberapa program jaminan sosial dan menswastakan
kembali beberapa industri.
Di Swedia, sejak partai sosialis
berkuasa pada tahun 1932, usaha-usaha untuk menjamin kesejahteraan sosial
warganegaranya yang dilakukan oleh negara terus berlangsung, bahkan di daratan
Eropa dipandang sebagai negara kesejahteraan yang paling berhasil, yang
memberikan pelayanan kesejahteraan bagi rakyatnya seolah-olah dari buaian
hingga liang lahat (from cradle to the grave) (Miriam Dudiardjo, dalam:
Budiardjo, Miriam, 1984: 15).
Dari pengalaman negara-negara Eropa
Barat nampak bahwa dianutnya sistem negara kesejahteraan tidak berakibat
terlalu buruk bagi demokrasi, walaupun demokrasi dalam pengertian harafiahnya,
yaitu pemerintahan rakyat, mungkin harus dipandang sebagai bermakna
“pemerintahan untuk rakyat.”
Dalam hubungan antara demokrasi dengan
peran negara dalam bidang ekonomi, khususnya besarnya peran negara didalam mengatur
ekonomi rakyat, dimana berbagai bidang usaha yang penting bagi kehidupan orang
banyak di pegang oleh negara, dimana negara terlibat dengan sangat aktif dalam
bidang kesejahteraan sosial rakyatnya, Charles Frankel, yang menyebut sistem
tersebut sebagai sistem sosialis, memberikan sarannya:
Dinegara-negara
itu sosialisme mungkin cocok dengan usaha untuk memelihara kebebasan-kebebasan
yang fundamental, asal saja tetap ada sektor swasta yang besar di bidang
ekonomi, asal saja profesi ahli hukum, ilmuwan, dan wartawan tetap terjaga
otonominya, dan asal saja cita-cita akan persamaan hak tidak berubah menjadi
cita-cita akan adanya keseragaman dalam selera dan kondisi.
Tetapi
ini merupakan syarat-syarat yang besar, dan resikonya akan tumbuh bersamaan
dengan tumbuhnya hasrat akan makna. Akhirnya, menurut pendapat saya, obat
pencegah untuk melawaan “godaan totliter” terletak pada apa yang dapat
dilakukan oleh pemerintah-pemerinah demokratis, konseratif, berhalauan tengah
atau yang berorientasi pada aliran kiri, tentang dua hal berikut: pertama,
memperkuat lembaga-lembaga sosial yang mengatur diri sendiri yang ada diluar
pemerintahan; dan kedua menampilkan tujuan-tujuan bersama dan
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam masyarakat liberal yang masih belum
terpenuhi. Dan tidak satupun tugas ini menjadi tanggung jawab pemerintah
semata-mata. Hal ini adalah tugas sektor swasta, terutama pemimpin-pemimpin
agama dan golongan inelektual, jika mereka mampu melakukan tugas tersebut
(Budiardjo, Miriam, Penyunting, 1984: 29 - 30).
Indonesia Menganut Sistem Negara Kesejahteraan?
Kalau kita mempelajari bunyi pembukaan UUD 1945 khususnya yang
menyangkut masalah tujuan negara Indonesia, pada intinya dapat dirumuskan
sebagai “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang
didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan
yang dimuat didalam pembukaan tersebut kemudian didalam batang tubuh UUD 1945
dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat.
Berbagai ketentuan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat didalam
pasal-pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33, dan 34. Pasal 27 ayat (2) menentukan bahwa
tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak mendapat
pengajaran. Sementara itu, pasal 32 menentukan mengenai tugas pemerintah untuk
memajukan kebudayaan nasional, dan pasal 34 menentukan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sedang pasal 33 mengatur mengenai
masalah ekonomi, yang menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan
alam yang ada diatasnya dikuasai oleh negara.
Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya
dengan amandemen kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat
ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas
jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
mansusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Yang menjadi pertanyaan dari adanya berbagai
pengaturan masalah kesejahteraan rakyat tersebut, bahkan yang oleh UUD
dicanangkan sebagai tujuan didirikannya negara Republik Indonesia adalah,
apakah berarti bahwa Indonesia menganut sistem negara kesejahteraan? Untuk
menilai apakah Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan, bisa dinilai
berdasarkan kelima prinsip negara kesejahteraan sebagaimana yang telah
diuraikan diatas sebagai acuan. Sekedar mengulang, kelima prinsip tersebut
meliputi ketentuan bahwa cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang
produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara
melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan
mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat;
negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti
secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, menyediakan jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi setiap
warganegara, dan sebagainya; negara mengembangkan sistem perpajakan progresif,
yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin
tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin
besar; dan yang kelima, pembuatan keputusan publik harus dilakukan secara
demokratis.
Kalau dilihat dari sudut ketentuan
perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, walaupun
masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki, dapat dikategorikan sebagai
menganut sistem negara kesejahteraan. Tetapi dalam hal negara kesejahteraan,
yang terpenting bukanlah bagaimana bunyi Undang-Undang Dasar negara yang
bersangkutan. Selain ketentuan perundang-undangan, sebetulnya yang terpenting adalah
bagaimana praktek kenegaraan negara yang bersangkutan, karena negara
kesejahteraan bukan sekedar konsep kenegaraan, tetapi lebih merupakan prinsip
yang harus diterapkan didalam praktek kenegaraan. Celakanya, praktek kenegaraan
kita hingga saat ini sama sekali tidak mencerminkan prinsip negara
kesejahteraan. Berbagai ketentuan didalam UUD sama sekali tidak pernah
dilaksanakan. Bahkan ketentuan mengenai kesejahteraan rakyat dalam UUD 1945
yang telah berlaku selama lebih dari 50 tahun, tidak pernah dilaksanakan sama
sekali. Kita masih menyaksikan banyaknya tunawisma yang berkeliaran
dijalan-jalan tanpa ada bantuan dalam bentuk apapun dari negara, walaupun pasal
34 UUD menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara. Walaupun pengangguran terus meningkat, pemerintah tidak pernah
menyediakan lapangan kerja yang menjadi kewajibannya, atau paling tidak
menyediakan jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 28H,
sehingga setiap warganegara Indonesia dapat hidup layak.
Hal ini bisa terjadi karena
ketentuan yang dimaksudkan untuk menjabarkan dan mewujudkan kesejahteraan umum
dan memajukan kecerdasan bangsa sebagaimana yang termuat didalam UUD RI
tersebut dirumuskan dengan terlalu sederhana, dengan perumusan yang juga tidak memadai.
Sebagai contoh, pasal-pasal tambahan tersebut dirumuskan seperti perumusan
himbauan moral. Dari ketiga ayat tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah,
siapa yang berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan yang menyediakan
pelayanan kesehatan bagi setiap orang? Siapa yang berkewajiban untuk
menyediakan kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan
keadilan? Siapa yang berkewajiban menyediakan jaminan sosial? Pernyataan
berbagai hak tersebut tanpa kejelasan siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan
hak tersebut sama saja dengan pernyataan kosong.
Mungkin orang bisa berdalih bahwa dalam UUD RI
telah terdapat ketentuan dalam pasal 28I ayat (4) yang juga merupakan hasil
amandemen kedua, yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Berdasarkan pasal 28I ayat (4) tersebut memang nampak bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak yang dirumuskan sebagai hak azasi
didalam UUD menjadi tanggungjawab negara dan terutama pemerintah. Tetapi, tanpa
ketentuan khusus yang mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah
yang nyata untuk menegakkan dan mewujudkan berbagai hak yang telah disebutkan
didalam UUD mengakibatkan perwujudannya akan tetap mengambang, masih bergantung
pada suka atau tidak sukanya pemerintah.
Disamping pasal 28H tersebut, pasal-pasal lain
yang bersangkutan dengan kewajiban pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan
masyarakat juga dirumuskan dengan sangat mengambang. Hal ini dapat kita lihat
dalam pasal-pasal 31 (mengenai pendidikan) dan 34 (mengenai jaminan sosial dan
pelayanan kesehatan). Kalau pembentuk UUD bersungguh-sungguh ingin agar
berbagai hak tersebut terwujud dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia, maka akan
lebih nyata kalau perumusan hak tersebut disertai dengan perumusan “kewajiban”
yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, sekali lagi sekedar
sebagai sebuah contoh, ketiga pasal yang tidak jelas tersebut akan menjadi
semakin jelas jika disertai dengan rumusan tambahan, misalnya:
Untuk mewujudkan hak-hak yang disebutkan
didalam pasal 28H, pemerintah berkewajiban untuk:
1. menyediakan pelayanan kesehatan secara
cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu.
2. menyediakan jaminan sosial bagi masyarakat
kurang mampu, sehingga memungkinkan setiap orang dapat hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat yang memungkinkan setiap orang mengembangkan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat.
3. mengembangkan sistem jaminan sosial sehingga
setiap orang yang tidak mampu bisa mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
Dengan menyertai perumusan mengenai kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang dipandang
berkewajiban mewujudkannya, maka rakyat dapat melakukan tuntutannya jika
kewajiban tidak dilaksanakan. Tetapi, dengan rumusan yang dituangkan dalam
kalimat positif semata-mata, rakyat tidak dapat menuntut pelaksanaan dan
perlindungannya dari pemerintah.
Dengan perumusan yang tidak jelas tersebut,
nampaknya perumus amandemen UUD RI masih setengah hati untuk mewujudkan hak-hak
ekonomi rakyat dalam rangka menjamin kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat.
Bahkan, bukan hanya pasal-pasal yang bersangkutan dengan jaminan kesejahteraan
manusia saja, tetapi semua rumusan hak azasi manusia yang dituangkan didalam
pasal-pasal UUD RI dirumuskan dalam kalimat positif tanpa tambahan ketentuan
yang dikenai kewajiban, sehingga berbagai hak tersebut menjadi mengambang.
Nampaknya penyusun rumusan amandemen UUD RI masih belum sepenuhnya ingin
melindungi hak azasi manusia rakyat Indonesia dan tidak sepenuh hati didalam
menganut prinsip negara kesejahteraan. Karena itu, Indonesia layak disebut
sebagai negara kesejahteraan seolah-olah.
Daftar Pustaka
- Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
- Budiarjo, Prof. Miriam, penyunting, Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi, Pt. Gramedia, Jakarta, 1984.
- Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 19854.
- Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar