Selasa, 10 Oktober 2017

NEGARA KESEJAHTERAAN

NEGARA KESEJAHTERAAN

Hadi Wahono
Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidak berdayaan masyarakat miskin, hingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menerima suap (menjual suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa kali pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Bahkan adanya rasa frustrasi orang miskin akan mudah disulut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkhis, yang berakibat kontra produktif bagi perkembangan demokrasi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka dikembangkan konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang merupakan sistem kenegaraan yang mengupayakan untuk memperkecil jurang pemisah antara mereka yang kaya dengan yang miskin melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan warganegaranya. Ada lima prinsip penting yang merupakan prinsip yang mendasari (dan sekaligus menjadi ciri) suatu sistem negara kesejahteraan, yang karena itu harus diupayakan untuk diwujudnyatakan oleh negara yang menganut system Negara kesejahteraan dalam rangka upayanya untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warganegaranya. Yang pertama, cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Tujuan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi kehidupan rakyat banyak adalah agar kebutuhan rakyat atas produksi barang yang bersangkutan dapat diperoleh oleh rakyat dengan harga yang terjangkau, tidak memberatkan kehidupan rakyat. Contoh cabang produksi yang penting bagi kepentingan rakyat paling tidak adalah listrik, gas dan minyak bumi, air bersih, dan angkutan umum murah.
Yang kedua, usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat. Yang ketiga, negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan. Berbagai pelayanan tersebut, dengan berbagai sistem yang diterapkan, harus dapat dijangkau oleh semua orang tanpa kecuali. Tentu saja, jumlah jenis-jenis pelayanan yang harus disediakan oleh negara bergantung pada perkembangan kemampuan negara, tetapi kedua jenis pelayanan tersebut (kesehatan dan pendidikan) merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan. Disamping itu, negara juga menyediakan jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi setiap warganegaranya. Bahkan, banyak pemikir dan praktek kenegaraan yang menganut sistem negara kesejahteraan memandang bahwa peran negara didalam memberikan pelayanan kesejahteraan warganegaranya harus meliputi kehidupan rakyat “sejak dari buaian hingga liang kubur” (from cradle to the grave). Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah, walaupun dalam sistem negara kesejahteraan selain cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan negara juga menyediakan berbagai pelayanan bagi kepentingan rakyatnya, terutama pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan, dan bisa jadi juga angkutan umum murah, penyediaan beras murah, pupuk murah, tetapi bersamaan dengan itu usaha-usaha swasta juga diperbolehkan. Karena itu,  dalam negara kesejahteraan, rakyat dapat memilih untuk memperoleh pelayanan dari pihak mana. Mereka yang mampu tidak dilarang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dari swasta yang mungkin biayanya sangat mahal, tetapi mereka pandang lebih baik. Yang keempat, mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar. Dengan melalui sistem perpajakan dan sistem jaminan yang dikembangkan oleh negara, diharapkan perbedaan antara mereka yang kaya dan miskin didalam negara yang bersangkutan akan berkurang, dan orang miskin juga akan berkurang. Prinsip yang kelima, pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara demokratis. Ini artinya, negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya.
Namun demikian, karena dalam konsep negara kesejahteraan mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, maka akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, negara kesejahteraan akan menjadi negara raksasa dengan jumlah birokrat yang sangat banyak dan sekaligus menggurita, dimana tangan-tangannya yang tak terhitung jumlahnya memasuki banyak segi kehidupan masyarakat. Akibatnya timbul masalah pengendalian dan kontrol oleh rakyat.
Dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem demokrasi negara modern, permasalahannya akan semakin rumit dengan adanya kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan negara modern sudah sedemikian kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan banyak bagian yang (khususnya dinegara-negara maju) dikelola oleh orang-orang profesional yang memiliki spesialisasi keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing. Permasalahan yang muncul sehubungan dengan meraksasanya, mengguritanya, dan semakin kompleksnya  cara kerja pemerintahan negara modern, pertanyaannya, apakah rakyat masih memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan pemerintah atau elit penguasa yang memegang kekuasaan pemerintahan? Banyak ahli yang meragukan kemampuan rakyat, bukan saja untuk terlibat didalam pemerintahan secara langsung atau mengendalikannya (dari jarak jauh), bahkan sudah sangat sulit untuk hanya sekedar memilih wakil, melakukan pengawasan atas bekerjanya pemerintah, dan melakukan penilaian atas apa yang telah dilakukan oleh wakil yang mereka pilih. Dalam keadaan demikian, nampaknya pernyataan rousseau mengenai kelemahan sistem demokrasi perwakilan di Inggris layak untuk dikutip disini dan tampaknya berlaku untuk semua sistem demokrasi negara modern:
Orang Inggris percaya bahwa mereka adalah orang-orang bebas; mereka sungguh-sungguh salah, karena mereka hanya bebas selama pemilihan anggota-anggota parlemen, dan didalam waktu diantara dua masa pemilihan tersebut, rakyat berada dalam perbudakan, mereka tak berarti apa-apa. Dalam masa pendek dari kebebasan mereka, orang-orang Inggris menggunakannya sedemikian rupa sehingga mereka memang patut untuk kehilangan kebebasan mereka (Rousseau, 1974: 79)
Kondisi ini merupakan dilema sulit bagi negara demokrasi modern yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfarestate). Membiarkan pasar bekerja sendiri dalam mengatur ekonomi dan masalah kesejahteraan rakyat akan bisa menimbulkan ketidak adilan sosial, yang akibatnya bukan hanya negara secara moral akan kehilangan keabsahannya, tetapi juga dapat menimbulkan pemberontakan dan anarkhi yang akan menghancurkan negara itu sendiri. Sementara itu, dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem demokrasi negara modern, dengan adanya kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan negara modern sudah sedemikian merambah pada banyak segi kehidupan manusia (rakyatnya) sehingga merupakan pemerintahan yang sangat besar, yang urusannya sedemikian kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan banyak bagian yang membutuhkan pengelolan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan khusus, oleh orang-orang profesional yang memiliki spesialisasi keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing, maka layak dipertanyakan, apakah sistem demokrasi yang secara harafiahnya berarti pemerintahan rakyat, masih merupakan sistem yang feasible untuk dipraktekkan, terutama di Negara demokrasi yang menganut system Negara kesejahteraan? Mengembangkan pemerintahan yang ruang lingkup pekerjaannya mencakup wilayah luas yang meliputi sangat amat banyak segi kehidupan rakyat apakah tidak berarti akan semakin menyulitkan bekerjanya sistem demokrasi?  bahkan dalam negara demikian, layak diragukan apakah demokrasi sesungguhnya masih ada? Tampaknya, membangun keseimbangan antara peran negara dalam membangun kesejahteraan rakyat dan kesempatan rakyat untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan negara merupakan masalah mendesak bagi masyarakat demokrasi modern.
Ada dua alasan untuk mempertahankan dan mengembangkan sistem negara kesejahteraan (welfarestate), yang merupakan negara yang ikut campur tangan dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, tetapi yang sekaligus tetap mempertahankan sistem demokrasi semaksimal mungkin. Yang pertama, walaupun perkembangan negara kesejahteraan atau paling tidak terlibatnya negara didalam berbagai segi kehidupan masyarakat berakibat semakin membesarnya pemerintahan (dan birokrasi) negara dan semakin kompleksnya urusan pemerintahan, yang bisa mengakibatkan keterlibatan rakyat didalam pemerintahan akan semakin mengalami kesulitan (bahkan untuk mengawasi berjalannya pemerintahan atau memilih wakil mereka yang akan duduk diparlemen sekalipun, tak lepas dari banyak kesulitan), tetapi kenyataan semakin meluasnya urusan pemerintah dalam negara-negara modern tampaknya tidak terhindarkan lagi. Pemerintahan negara modern memasuki sebagian besar kehidupan masyarakat, mulai dari masalah Internasional, masalah nuklir, pertahanan keamanan, kesejahteraan hingga mengurusi apakah anda telah mengasuh anak anda dengan benar atau belum.
Dalam masyarakat massal yang baru, peranan pemerintah – yang merupakan sekumpulan lembaga yang memegang monopoli penggunaan kekuatan terorganisir untuk urusan-urusan dalam dan luar negeri – terpaksa berobah. Negara selaku masyarakat politik yang terorganisir memerlukan suatu tingkat kestabilan tertentu dalam system sosialnya untuk mempertahankan keseimbangannya. Untuk mencapai hal ini, tidak hanya diperlukan penyesuaian satu sama lain dari tuntutan-tuntutan yang berlawanan, yang dimajukan oleh bermacam-macam kelompok dalam tata social  dan tata ekonomi yang baru, tetapi juga diperlukan penciptaan secara terarah dari kondisi-kondisi kesejahteraan social yang dituntut oleh doktrin persamaan yang baru. Dengan demikian pemerintah sebagai alat negara, makin lama makin dipaksa untuk menerima tanggung-jawab positif atas penciptaan dan distribusi kekayaan. Dengan cara demikian, pemerintah hampir diseluruh dunia, telah menjadi pemerintah besar, baik dalam ruang lingkupnya, maupun dalam jumlah pegawai yang diperlukan untuk mengembangkan tanggung jawabnya Namun demikian, bersamaan dengan meningkatnya jumlah pegawai negeri, berarti juga semakin meningkatnya jumlah orang (para pegawai tersebut) yang dapat menjadi korban penekanan sesuatu rezim yang bersifat sewenang-wenang (Gwendolen M. Carter dalam: Miriam Budiardjo, 1982: 78 – 79).
Di Amerika Serikat, dimana gagasan bahwa pemerintah seharusnya hanya merupakan wasit yang menerapkan aturan-aturan diantara kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya yang saling bersaing, pendukungnya lebih banyak daripada di Inggris dan perancis – merekapun ternyata menyetujui adanya aktivitas-aktivitas pemerintah seperti TVA, pengawasan kredit, ataupun campur tangan langsung dari pemerintah untuk mengatasi soal-soal modernisasi seperti fasilitas dan pengangkutan di daerah perkotaan yang luas dan untuk menyingkirkan apa yang disebut kemiskinan ditengah-tengah kemakmuran. (Miriam Budiardjo, 1982: 75 – 76).
Pertumbuhan kearah pemerintahan raksasa tersebut terus berlanjut seolah-olah tak dapat dihentikan, dan tak ada orang yang ingin untuk menghentikannya. Hal ini mulai berlangsung ketika Amerika Serikat telah berubah melalui perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi, pemerintah telah berubah sejalan dengan perubahan tersebut. Pemerintah telah meluas dan tumbuh menjadi lebih kompleks, pemerintah diminta untuk melaksanakan tugas yang semakin lama semakin banyak.
Pemerintah dapat mempengaruhi kehidupan pelajar atau warganegara yang lain dengan mengirim mereka keluar negeri untuk berperang, atau melancarkan serangan nuklir, dimana mereka mungkin akan terbunuh. Yang kurang jelas, mungkin, adalah cara dimana pemerintah memasuki banyak segi kehidupan keseharian, yang kadang-kadang hingga detail pada yang pernik-pernik. Sebagai contoh, pemerintah federal mengatur jumlah (luasan) yang harus dicakup oleh kipas kaca mobil (wiper) dan bahkan kecepatan dari kipas kaca tersebut (dalam kondisi cepat, kipas kaca harus berjalan dengan kecepatan paling tidak 45 putaran per-menit) (Cummings and Wise, 1985: 9).
Perkembangan demikian merupakan perkembangan masyarakat modern. Seabad yang lalu, pemerintahan federal tidak menyediakan jaminan sosial, asuransi kesehatan untuk berjuta-juta warganegaranya, bantuan yang luas pada lembaga pendidikan negeri maupun swasta, atau bermilyar-milyar dolar untuk pembiayaan kesejahteraan. Juga tak ada satupun lembaga yang diatur secara independen untuk mengamati berbagai-bagai golongan ekonomi dalam masyarakat.
Ketika masyarakat Amerika telah tumbuh semakin kompleks, ketika penduduk telah meningkat, tugas pengelolaan pemerintahan nasional telah membesar. Rakyat menuntut pelayanan yang lebih dan dalam prosesnya pemerintah tumbuh semakin besar. Lima kementerian departemen – Perumahan dan Pembangunan Perkotaan; Tranportasi; Energi; Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat; dan Pendidikan – baru dibentuk sejak tahun 1950-an.
Kekuasaan untuk menarik pajak dan membelanjakannya untuk kesejahteraan umum merupakan fungsi dari pemerintahan nasional yang telah meluas dengan sangat luar biasa pada abad keduapuluh. Peran pemerintah didalam masalah perdagangan antar negara bagian dan luar negeri juga telah meningkat secara luas.
Kebanyakan dari pertumbuhan pemerintahan besar dan program kesejahteraan sosial federal berlangsung selama “New Deal” dalam tahun 1930-an dan selama program “Great Society” dari presiden Lyndon Johnson dalam tahun 1960. Walaupun kalangan konservatif secara periodik menyerang program-program tersebut sebagai “merangkak kearah sosialisme,” program-program besar sedemikian jauh terus dibentuk sehingga tak ada pemerintahan di Washington yang mungkin akan mampu untuk menghapuskannya.
Namun demikian, presiden reagan yang mulai menduduki jabatan pada tahun 1981 bersikeras untuk melakukan hal itu. Ia bersikeras untuk melakukan pemotongan yang berarti pada pengeluaran federal didalam bidang kesejahteraan sosial. Dia telah mengulangi dengan berjanji untuk melakukan hal itu didalam kampanyenya untuk menduduki kursi kepresidenan yang kedua kalinya.
Sebagaimana diketahui, Ronald Reagan terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya pada tahun 1980 berdasarkan janjinya untuk mengurangi jangkauan dan ruang lingkup pemerintah federal dalam kehidupan keseharian rakyat Amerika Serikat, bersamaan dengan itu akan meningkatkan kekuatan militer Amerika Serikat dan memotong pajak.
Dalam masa empat tahun pertama Reagan menjadi presiden, program kesejahteraan telah dipotong, bersamaan dengan pajak penghasilan; dan anggaran pertahanan telah meningkat. Tetapi prosentase dan jumlah orang yang hidup didalam kemiskinan juga telah meningkat, dan anehnya anggaran federal telah meningkat pada tingkatan yang belum pernah terjadi
Didalam pidato pelantikannya sebagai presiden yang kedua pada bulan Januari tahun 1985, Ronald Reagan menekankan tema yang sudah sangat dikenal yang membantu mengembalikannya dan partainya ke gedung putih:
“ ............ ini akan menjadi tahun dimana Amerika telah memperbaiki percaya dirinya dan tradisi kemajuannya; ketika nilai keyakinan, keluarga, kerja, dan lingkungan masyarakat diungkapnyatakan kembali untuk masa modern; ketika ekonomi kita pada akhirnya dibebaskan dari genggaman pemerintah (Cummings and Wise, 1985: 3).
Didalam tahun 1984, beberapa pendukung Reagan melihat kemenangan pemilihannya yang sangat besar sebagai sebuah mandat untuk melaksanakan kebijakan konservatifnya, sementara analis yang lain menterjemahkan kembalinya kegedung putih lebih sebagai pencerminan dari popularitas pribadi Reagan (Cummings and Wise, 1985: 7).
Pemerintahan Reagan telah menyatakan memotong bermilyar-milyar dolar untuk pengeluaran dalam negeri, dalam kesejahteraan sosial dan program-program pangan yang dirancang untuk membantu kaum miskin, maupun didalam cakupan yang luas dari program-program yang lain yang ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga berpenghasilan rendah, termasuk bantuan kesehatan (medicaid), subsidi perumahan, dan pinjaman bagi pelajar. Keseluruhan pemotongan pengeluaran ini dikenal secara populer sebagai “revolusi Reagan.”
Tetapi seberapa besar pengurangan didalam pengeluaran dalam negeri? Pemerintah menyatakan bahwa mereka telah mengurangi program dalam negeri federal hingga 232 milyar dolar selama empat tahun, dibandingkan dengan pengeluaran yang diproyeksikan oleh pemerintahan Demokrat sebelumnya. Tetapi didalam perdebatan publik atas pemotongan anggaran, telah terjadi “kebingungan mengenai kepastian apa yang sesungguhnya telah dicapai.” Sebagian, hal ini disebabkan karena pengeluaran federal sesungguhnya meningkat didalam banyak program yang oleh pemerintahan Reagan dinyatakan telah dipotong. Dalam kebanyakan kasus, “pemotongan” merupakan pengurangan atas apa yang mungkin telah dikeluarkan. Namun demikian, program reagan telah mempunyai pengaruh yang dapat diukur mengenai pengeluaran pemerintah dan mengenai out-put dari sustem politik. Sebagaimana satu kajian telah menyatakan, “Ada satu hal yang tak dapat diragukan mengenai akibat penting dari kebijakan pemerintahan Reagan, yaitu: penghasilan di Amerika Serikat akan didistribusikan secara lebih tidak merata antara yang kaya dan yang miskin dibandingkan dengan sebelumnya.”
Peran pemerintah federal, khususnya dalam bidang program kesejahteraan sosial, kemungkinan akan berlanjut sebagai perdebatan di Amerika Serikat, sebagaimana yang terjadi pada kampanye pemilihan presiden pada tahun 1984. Walaupun pemerintahan tertentu mungkin mengurangi bagian dari roti yang dialokasikan untuk program-program sosial, tetapi roti itu sendiri – yaitu anggaran federal – tetap saja tumbuh terus. Kebanyakan orang Amerika masih cenderung untuk melihat pada pemerintah nasional untuk menyelesaikan berbagai permasalahan nasional. Pada akhirnya, tampaknya tak terhindarkan lagi, pemerintahan negara modern akan semakin tumbuh sebagai pemerintahan raksasa yang jangkauan wilayah kerjanya sedemikian luas dan cakupan ruang lingkup bidang kerjanya juga sangat luas sehingga menyerupai “Leviathan”-nya Thomas Hobbes, sebagai monster raksasa yang menakutkan, tetapi yang  sekaligus dibutuhkan.
Alasan yang kedua, dari pengalaman negara-negara demokratis yang mempraktekkan sistem negara kesejahteraan, pada kenyataannya, kondisi nyatanya tidak selalu harus seburuk itu. Pengalaman banyak negara-negara Eropa Barat yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state) menunjukkan kemampuan mereka untuk menjaga keseimbangan antara peran negara dalam bidang ekonomi yang sangat besar dengan demokrasi (walaupun bersifat elitis). Inggris misalnya, sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Clement Ettlee dari partai buruh yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1945, menganut sistem negara kesejahteraan dengan manasionalisasi hampir semua alat produksi seperti transportasi, batu bara, listrik, dan air serta memberikan pelayanan sosial terutama dibidang kesehatan. Ternyata kebijakan yang sudah dilaksanakan oleh Perdana Menteri Clement Ettlee tersebut tidak pernah lagi dirobah oleh pengganti-penggantinya, dari manapun asal partai mereka, kecuali pada masa Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang sebagai akibat resesi mengurangi beberapa program jaminan sosial dan menswastakan kembali beberapa industri.
Di Swedia, sejak partai sosialis berkuasa pada tahun 1932, usaha-usaha untuk menjamin kesejahteraan sosial warganegaranya yang dilakukan oleh negara terus berlangsung, bahkan di daratan Eropa dipandang sebagai negara kesejahteraan yang paling berhasil, yang memberikan pelayanan kesejahteraan bagi rakyatnya seolah-olah dari buaian hingga liang lahat (from cradle to the grave) (Miriam Dudiardjo, dalam: Budiardjo, Miriam, 1984: 15).
Dari pengalaman negara-negara Eropa Barat nampak bahwa dianutnya sistem negara kesejahteraan tidak berakibat terlalu buruk bagi demokrasi, walaupun demokrasi dalam pengertian harafiahnya, yaitu pemerintahan rakyat, mungkin harus dipandang sebagai bermakna “pemerintahan untuk rakyat.”
Dalam hubungan antara demokrasi dengan peran negara dalam bidang ekonomi, khususnya besarnya peran negara didalam mengatur ekonomi rakyat, dimana berbagai bidang usaha yang penting bagi kehidupan orang banyak di pegang oleh negara, dimana negara terlibat dengan sangat aktif dalam bidang kesejahteraan sosial rakyatnya, Charles Frankel, yang menyebut sistem tersebut sebagai sistem sosialis, memberikan sarannya:
Dinegara-negara itu sosialisme mungkin cocok dengan usaha untuk memelihara kebebasan-kebebasan yang fundamental, asal saja tetap ada sektor swasta yang besar di bidang ekonomi, asal saja profesi ahli hukum, ilmuwan, dan wartawan tetap terjaga otonominya, dan asal saja cita-cita akan persamaan hak tidak berubah menjadi cita-cita akan adanya keseragaman dalam selera dan kondisi.
Tetapi ini merupakan syarat-syarat yang besar, dan resikonya akan tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya hasrat akan makna. Akhirnya, menurut pendapat saya, obat pencegah untuk melawaan “godaan totliter” terletak pada apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah-pemerinah demokratis, konseratif, berhalauan tengah atau yang berorientasi pada aliran kiri, tentang dua hal berikut: pertama, memperkuat lembaga-lembaga sosial yang mengatur diri sendiri yang ada diluar pemerintahan; dan kedua menampilkan tujuan-tujuan bersama dan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam masyarakat liberal yang masih belum terpenuhi. Dan tidak satupun tugas ini menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata. Hal ini adalah tugas sektor swasta, terutama pemimpin-pemimpin agama dan golongan inelektual, jika mereka mampu melakukan tugas tersebut (Budiardjo, Miriam, Penyunting, 1984: 29 - 30).

Indonesia Menganut Sistem Negara Kesejahteraan?

Kalau kita mempelajari bunyi pembukaan UUD 1945 khususnya yang menyangkut masalah tujuan negara Indonesia, pada intinya dapat dirumuskan sebagai “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan yang dimuat didalam pembukaan tersebut kemudian didalam batang tubuh UUD 1945 dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Berbagai ketentuan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat didalam pasal-pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33, dan 34. Pasal 27 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran. Sementara itu, pasal 32 menentukan mengenai tugas pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional, dan pasal 34 menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sedang pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya dikuasai oleh negara.
Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya dengan amandemen kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai mansusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Yang menjadi pertanyaan dari adanya berbagai pengaturan masalah kesejahteraan rakyat tersebut, bahkan yang oleh UUD dicanangkan sebagai tujuan didirikannya negara Republik Indonesia adalah, apakah berarti bahwa Indonesia menganut sistem negara kesejahteraan? Untuk menilai apakah Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan, bisa dinilai berdasarkan kelima prinsip negara kesejahteraan sebagaimana yang telah diuraikan diatas sebagai acuan. Sekedar mengulang, kelima prinsip tersebut meliputi ketentuan bahwa cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat; negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, menyediakan jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi setiap warganegara, dan sebagainya; negara mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar; dan yang kelima, pembuatan keputusan publik harus dilakukan secara demokratis.
Kalau dilihat dari sudut ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, walaupun masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki, dapat dikategorikan sebagai menganut sistem negara kesejahteraan. Tetapi dalam hal negara kesejahteraan, yang terpenting bukanlah bagaimana bunyi Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan. Selain ketentuan perundang-undangan, sebetulnya yang terpenting adalah bagaimana praktek kenegaraan negara yang bersangkutan, karena negara kesejahteraan bukan sekedar konsep kenegaraan, tetapi lebih merupakan prinsip yang harus diterapkan didalam praktek kenegaraan. Celakanya, praktek kenegaraan kita hingga saat ini sama sekali tidak mencerminkan prinsip negara kesejahteraan. Berbagai ketentuan didalam UUD sama sekali tidak pernah dilaksanakan. Bahkan ketentuan mengenai kesejahteraan rakyat dalam UUD 1945 yang telah berlaku selama lebih dari 50 tahun, tidak pernah dilaksanakan sama sekali. Kita masih menyaksikan banyaknya tunawisma yang berkeliaran dijalan-jalan tanpa ada bantuan dalam bentuk apapun dari negara, walaupun pasal 34 UUD menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Walaupun pengangguran terus meningkat, pemerintah tidak pernah menyediakan lapangan kerja yang menjadi kewajibannya, atau paling tidak menyediakan jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 28H, sehingga setiap warganegara Indonesia dapat hidup layak.
Hal ini bisa terjadi karena ketentuan yang dimaksudkan untuk menjabarkan dan mewujudkan kesejahteraan umum dan memajukan kecerdasan bangsa sebagaimana yang termuat didalam UUD RI tersebut dirumuskan dengan terlalu sederhana, dengan perumusan yang juga tidak memadai. Sebagai contoh, pasal-pasal tambahan tersebut dirumuskan seperti perumusan himbauan moral. Dari ketiga ayat tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan yang menyediakan pelayanan kesehatan bagi setiap orang? Siapa yang berkewajiban untuk menyediakan kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan? Siapa yang berkewajiban menyediakan jaminan sosial? Pernyataan berbagai hak tersebut tanpa kejelasan siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak tersebut sama saja dengan pernyataan kosong.
Mungkin orang bisa berdalih bahwa dalam UUD RI telah terdapat ketentuan dalam pasal 28I ayat (4) yang juga merupakan hasil amandemen kedua, yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Berdasarkan pasal 28I ayat (4) tersebut memang nampak bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak yang dirumuskan sebagai hak azasi didalam UUD menjadi tanggungjawab negara dan terutama pemerintah. Tetapi, tanpa ketentuan khusus yang mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang nyata untuk menegakkan dan mewujudkan berbagai hak yang telah disebutkan didalam UUD mengakibatkan perwujudannya akan tetap mengambang, masih bergantung pada suka atau tidak sukanya pemerintah.
Disamping pasal 28H tersebut, pasal-pasal lain yang bersangkutan dengan kewajiban pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat juga dirumuskan dengan sangat mengambang. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal-pasal 31 (mengenai pendidikan) dan 34 (mengenai jaminan sosial dan pelayanan kesehatan). Kalau pembentuk UUD bersungguh-sungguh ingin agar berbagai hak tersebut terwujud dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia, maka akan lebih nyata kalau perumusan hak tersebut disertai dengan perumusan “kewajiban” yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, sekali lagi sekedar sebagai sebuah contoh, ketiga pasal yang tidak jelas tersebut akan menjadi semakin jelas jika disertai dengan rumusan tambahan, misalnya:
Untuk mewujudkan hak-hak yang disebutkan didalam pasal 28H, pemerintah berkewajiban untuk:
1.     menyediakan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu.
2.     menyediakan jaminan sosial bagi masyarakat kurang mampu, sehingga memungkinkan setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat yang memungkinkan setiap orang mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
3.     mengembangkan sistem jaminan sosial sehingga setiap orang yang tidak mampu bisa mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dengan menyertai perumusan mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang dipandang berkewajiban mewujudkannya, maka rakyat dapat melakukan tuntutannya jika kewajiban tidak dilaksanakan. Tetapi, dengan rumusan yang dituangkan dalam kalimat positif semata-mata, rakyat tidak dapat menuntut pelaksanaan dan perlindungannya dari pemerintah.
Dengan perumusan yang tidak jelas tersebut, nampaknya perumus amandemen UUD RI masih setengah hati untuk mewujudkan hak-hak ekonomi rakyat dalam rangka menjamin kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat. Bahkan, bukan hanya pasal-pasal yang bersangkutan dengan jaminan kesejahteraan manusia saja, tetapi semua rumusan hak azasi manusia yang dituangkan didalam pasal-pasal UUD RI dirumuskan dalam kalimat positif tanpa tambahan ketentuan yang dikenai kewajiban, sehingga berbagai hak tersebut menjadi mengambang. Nampaknya penyusun rumusan amandemen UUD RI masih belum sepenuhnya ingin melindungi hak azasi manusia rakyat Indonesia dan tidak sepenuh hati didalam menganut prinsip negara kesejahteraan. Karena itu, Indonesia layak disebut sebagai negara kesejahteraan seolah-olah.
Daftar Pustaka

  1. Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
  2. Budiarjo, Prof. Miriam, penyunting, Simposium Kapitalisme, Sosialisme,  Demokrasi, Pt. Gramedia, Jakarta, 1984.
  3. Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 19854.
  4. Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar